TEMPO.CO, Jakarta -- Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, meminta pemerintah mempermudah izin pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai insentif diperpanjangnya moratorium izin hutan. Selain itu, Purwadi juga berharap adanya penyederhanaan aturan serta peringanan pajak dan pungutan.
Sebab, katanya, selama dua tahun ini, perkembangan HTI dinilai sangat lambat. Hanya ada empat unit usaha HTI dengan lahan tidak lebih dari 200 ribu hekatare yang mendapat perizinan.
Menurut Purwadi, ada sekitar 33,6 juta hektare tidak produktif yang kecil kemungkinannya dijadikan HPH karena potensinya sudah sangat kecil. “Asumsi kami, area itu sangat potensial untuk HTI. Kami harap, perizinan HTI ini dapat didorong sehingga area itu dapat direhabilitasi dan sejalan dengan tujuan moratorium," katanya di Jakarta, Senin 20 Mei 2013.
Menurutnya, Indonesia sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara pengembang HTI di dunia. Data FAO tahun 2010 menempatkan Indonesia di bawah posisi sepuluh besar. "Padahal, target kita pada 2025 itu punya hutan tanaman 10 juta hektare yang diharapkan bisa menyumbang bahan baku untuk industri kehutanan yang mencapai sekitar 320 juta meter kubik," ujar Purwadi.
Dia berpendapat, menurunnya pasokan kayu dari hutan alam akan berdampak pada tingginya kebutuhan pada hutan tanaman untuk masa mendatang. Purwadi khawatir adanya guncangan terhadap pasokan bahan baku pada lima sampai sepuluh tahun mendatang jika pertumbuhan terus berjalan lambat.
Dia menambahkan ada persoalan industri kehutanan yang sekarang harus dijadikan prioritas utama untuk diperhatikan karena menyangkut perkembangan devisa non-migas dari sektor kehutanan, misalnya pulp dan kertas. “Kita hanya ingin moratorium izin hutan dapat merealisasikan penurunan emisi, namun pertumbuhan ekonomi harus berjalan pada saat yang bersamaan."
Purwadi mengatakan pertumbuhan tanaman tahunan (Riap) Indonesia masih tertinggal. "Tanaman HTI baru bisa ditebang pada umur enam tahun. Rata-rata pertumbuhan setiap tahun 25 meter kubik. Jadi, pertumbuhan selama enam tahun hanya 150 meter kubik," katanya.
Menurut dia, Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara lain. Misalnya, Brasil dan Cina sudah bisa mencapai Riap 40 meter kubik per tahun. Jadi, negara-negara itu sudah bisa mencapai Riap 240 meter kubik selama enam tahun.
Purwadi menjelaskan, Indonesia tertinggal dalam dua hal, yaitu dalam segi luasan dan produktivitas. Dia menyarankan agar para pelaku usaha memperkuat penelitian dan pengembangan (litbang) serta mendorong benih-benih unggul melalui rekayasa genetik dan pemulihan produk. "Dari sisi litbang, kita sudah bisa mencapai angka produksi 50 hingga 60 meter kubik. Tapi, secara komersil belum bisa karena cakupannya jauh lebih luas," katanya. Dia menjelaskan hanya ada segelintir perusahaan besar yang sudah menargetkan produksinya hingga 40 meter kubik saat ini.
ARIEF HARI WIBOWO
sumber : www.tempo.co.
Sebab, katanya, selama dua tahun ini, perkembangan HTI dinilai sangat lambat. Hanya ada empat unit usaha HTI dengan lahan tidak lebih dari 200 ribu hekatare yang mendapat perizinan.
Menurut Purwadi, ada sekitar 33,6 juta hektare tidak produktif yang kecil kemungkinannya dijadikan HPH karena potensinya sudah sangat kecil. “Asumsi kami, area itu sangat potensial untuk HTI. Kami harap, perizinan HTI ini dapat didorong sehingga area itu dapat direhabilitasi dan sejalan dengan tujuan moratorium," katanya di Jakarta, Senin 20 Mei 2013.
Menurutnya, Indonesia sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara pengembang HTI di dunia. Data FAO tahun 2010 menempatkan Indonesia di bawah posisi sepuluh besar. "Padahal, target kita pada 2025 itu punya hutan tanaman 10 juta hektare yang diharapkan bisa menyumbang bahan baku untuk industri kehutanan yang mencapai sekitar 320 juta meter kubik," ujar Purwadi.
Dia berpendapat, menurunnya pasokan kayu dari hutan alam akan berdampak pada tingginya kebutuhan pada hutan tanaman untuk masa mendatang. Purwadi khawatir adanya guncangan terhadap pasokan bahan baku pada lima sampai sepuluh tahun mendatang jika pertumbuhan terus berjalan lambat.
Dia menambahkan ada persoalan industri kehutanan yang sekarang harus dijadikan prioritas utama untuk diperhatikan karena menyangkut perkembangan devisa non-migas dari sektor kehutanan, misalnya pulp dan kertas. “Kita hanya ingin moratorium izin hutan dapat merealisasikan penurunan emisi, namun pertumbuhan ekonomi harus berjalan pada saat yang bersamaan."
Purwadi mengatakan pertumbuhan tanaman tahunan (Riap) Indonesia masih tertinggal. "Tanaman HTI baru bisa ditebang pada umur enam tahun. Rata-rata pertumbuhan setiap tahun 25 meter kubik. Jadi, pertumbuhan selama enam tahun hanya 150 meter kubik," katanya.
Menurut dia, Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara lain. Misalnya, Brasil dan Cina sudah bisa mencapai Riap 40 meter kubik per tahun. Jadi, negara-negara itu sudah bisa mencapai Riap 240 meter kubik selama enam tahun.
Purwadi menjelaskan, Indonesia tertinggal dalam dua hal, yaitu dalam segi luasan dan produktivitas. Dia menyarankan agar para pelaku usaha memperkuat penelitian dan pengembangan (litbang) serta mendorong benih-benih unggul melalui rekayasa genetik dan pemulihan produk. "Dari sisi litbang, kita sudah bisa mencapai angka produksi 50 hingga 60 meter kubik. Tapi, secara komersil belum bisa karena cakupannya jauh lebih luas," katanya. Dia menjelaskan hanya ada segelintir perusahaan besar yang sudah menargetkan produksinya hingga 40 meter kubik saat ini.
ARIEF HARI WIBOWO
sumber : www.tempo.co.
0 komentar:
Posting Komentar