Senin, 15 Desember 2014

KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT (HTR) JALAN DITEMPAT
Maman Permana
Mahasiswa Magister Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Sekolah Pascasarjana IPB

I. Pendahuluan
Sebagaimana amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 33, hutan yang merupakan salah satu kekayaan sumberdaya alam di Indonesia dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan urusan kehutanan yang dilakukan dengan asas manfaat dan lestari kerakyatan, keadilan, kebersamaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung gugat (UU 41/1999).
Dalam pelaksanaannya penyelenggaran urusan kehutanan di Indonesia berkembang semakin kompleks, tantangan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan tidak lagi hanya bisa dilakukan secara teknis kehutanan. Pergeseran permasalahan kehutanan yang dari semula berorientasi pada permasalahan teknis menuju masalah sosial (Pusliteksos, 2005).
Lyndayati (2002) dalam Tuti (2011) mengemukakan bahwa kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia dimulai pada masa awal pembangunan pasca kemerdekaan sampai dengan akhir tahun 1970-an dikenal dengan paradigma state based forest management dimana hutan dilihat sebagai sumber ekonomi negara yang identik dengan kayu dengan pengelola hutan adalah agen negara (BUMN), perusahan HPH. Pada periode ini terjadi pengabaian hak-hak masyarakat, keuntungan sumberdaya hutan hanya dinikmati segelintir pengusaha. Masyarakat sekitar hutan semakin terpinggirkan, padahal sebagian besar kehidupan mereka tergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan, sumber pangan, bahan bakar dan sumber penghasilan. Perubahan paradigma state based forest management muncul setelah disadari terjadinya kegagalan pengelolaan hutan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat disekitar hutan. Paradigma baru yang muncul adalah adanya kesadaran tentang perlunya keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam ikut mengelola hutan atau yang dikenal dengan paradigma community forest based management (CFBM). Kebijakan CFBM sebenarnya telah muncul lama di Indonesia melalui berbagai nama misalnya seperti tumpangsari, pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan Hutan Kemasyarakatan.
Dalam rangka mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan produksi pemerintah pada tahun 2007 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 mengeluarkan kebijakan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) yang selanjutnya disebut HTR. Namun dalam perkembangannya sejak digulirkan pada tahun 2007 sampai dengan sekarang belum menunjukan hasil yang memuaskan. Meskipun berbagai kerangka kebijakan telah disiapkan pemerintah mulai dari akses lahan, kelembagaan dan permodalan namun belum mampu menjadi faktor pendongkrak keberhasilan pembangunan HTR.

II. Berhasilkah Kebijakan HTR ?
A. Mengenal HTR
Yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pembangunan HTR adalah :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo PP No 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta pemanfaatan hutan;
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 jo Nomor P.31/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman;
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2012 tentang Rencana Kerja pada IUPHHK-HTR;
4. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.6/VI-BUHT/2013 tentang Pedoman Tata Cara Verifikasi Permohonan IUPHHK-HTR;
5. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.4/VI-BUHT/2012 tentang Pedoman Budidaya Tanaman Hutan Tanaman Rakyat;
6. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.2/VI-BUHT/2013 tentang Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Pola Kemitraan dan Developer;
7. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.5/VI-BUHT/2012 tentang Tata Cara Seleksi dan Pendampingan Pembangunan HTR.

Berdasarkan PP 6 Tahun 2007 yang dimaksud Hutan Tanaman Rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
Kegiatan pembangunan HTR dilakukan melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat yang diberikan kepada perorangan dan koperasi. Pemberian izin HTR kepada perorangan dan koperasi diatur melalui pembatasan luasan izin, dimana untuk izin perorangan paling maksimal seluas 15 hektar dan 700 hektar untuk izin berbentuk koperasi. Masa berlaku izin IUPHHK-HTR adalah paling lama 60 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu 35 tahun.
Izin HTR merupakan izin pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi, penetapan lokasi HTR memiliki kriteria tersendiri yaitu hanya dapat diberikan pada areal Hutan Produksi yang tidak produktif yang telah ditetapkan Menteri Kehutanan, tidak dibebani izin/hak lain dan tidak terdapat tanaman hasil reboisasi/rehabilitasi.
Penentuan calon lokasi areal HTR dimulai dengan penetapan pencadangan areal HTR yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan atas usulan Bupati dengan pertimbangan teknis dari Dinas Kabupaten. Berdasarkan pencadangan tersebut selanjutnya Bupati atas nama Menteri Kehutanan dapat menerbitkan izin HTR kepada perorangan dan koperasi yang mengajukan permohonan setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP) .

Gambar 1. Prosedur Tata Cara Permohonan Izin HTR








Tata cara permohonan izin HTR diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 jo Nomor P.31/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman adalah sebagai berikut :
1. Pemohon (perorangan melalui KTH atau koperasi) mengajukan permohonan IUPHHKHTR kepada Bupati melalui Kepala Desa;
2. Kepala Desa melakukan verifikasi keabsahan persyaratan atas permohonan IUPHHK HTR dan membuat rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Camat dan Kepala BPPHP;
3. Kepala BPPHP melakukan verifikasi persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang dimohon dengan berkoordinasi dengan BPKH dan hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai pertimbangan teknis
4. Berdasarkan rekomendasi Kepala Desa dan pertimbangan teknis dari Kepala BPPHP, Bupati/Walikota atas nama Menhut menerbitkan Keputusan IUPHHK-HTR.
Pihak perorangan dan koperasi yang telah mendapatkan izin HTR dapat melakukan pembangunan HTR melalui pola mandiri, pola kemitraan atau pola developer. Pola perorangan adalah HTR yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HT, pola kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitra berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi oleh pemerintah/ pemerintah daerah agar terselenggara kemitraan yang saling menguntungkan, sedangkan pola developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS atas permintaan pemegang IUPHHK-HTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHK-HTR.
Biaya pembangunan HTR dapat dibiayai secara swadaya oleh pemegang izin, maupun melalui lembaga pembiayaan keuangan yang lain. Pemerintah menyediakan pembiayaan pembangunan HTR melalui mekanisme fasilitas dana bergulir pinjaman yang dikelola oleh Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU Pusat P2H) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2012 tentang Tata Cara Penyaluran dan Pengembalian Dana Bergulir untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. BLU Pusat P2H adalah satuan kerja Kementerian Kehutanan yang menerapkan pengelolaan Badan Layanan Umum untuk pembiayaan pembangunan Kehutanan. Sumber dana pembangunan hutan berasal dari Dana Reboisasi dengan alokasi penggunaannya hanya untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dan salah satunya adalah pembangunan HTR. Mekanisme penyaluran pinjaman dana bergulir pinjaman dapat melalui skema pinjaman, skema bagi hasil dan pola syariah.
Pemegang HTR yang telah memperoleh izin HTR wajib menyusun Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat selanjutnya disebut RKUPHHK HTR yaitu rencana kerja untuk seluruh areal kerja IUPHHK-HTR yang berlaku daur tanaman pokok yang dominan, antara lain memuat aspek kelestarian hutan, kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi setempat. Selanjutnya berdasarkan RKUPHHK tersebut pemegang HTR wajib menyusun rencana kerja tahunan yang disusun secara gabungan dalam satu kelompok pemegang IUPHHK-HTR dan/atau Koperasi dengan jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun berdasarkan RKUPHHK-HTR. RKUPHHK-HTR dan RKTUPHHK-HTR ini menjadi dasar dan acuan pelaksanaan pembangunan HTR.
Dalam pelaksanaannya pembangunan HTR harus menggunakan teknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi tapak, persyaratan tempat tumbuh suatu jenis pohon, faktor sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Sistem silvikultur yang dapat digunakan adalah Tebang Habis Permudaan Buatan, Tebang Habis Tanam Jalur dan tebang rumpang. Jenis tanaman pada HTR berdasarkan P.55/Menhut-II/2011 pada prinsipnya terdiri dari tanaman pokok dan (tanaman hutan) dan tanaman budidaya tahunan, dengan komposisi tanaman budidaya tahunan maksimal 40% dari areal kerja. Pola tanam yang dapat dikembangkan adalah pola tanaman monokultur, pola tanam campuran dan pola tanam agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi tapak setempat.
Dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan HTR sesuai P.55/Menhut-II/2011 dapat dilakukan pendampingan untuk memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat sehingga tercapai kemandirian usaha dan kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan. Mekanisme seleksi Tenaga pendamping HTR dan pelaksanaan pendampingan pembangunan HTR diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.05/VI-BUHT/2012. Biaya operasional pendampingan HTR dibebankan pada anggaran pemerintah selama 3 (tiga) tahun dan selanjutnya dibebankan pada pemerintah kabupaten/kota.
Dalam rangka menjamin pelaksanaan pembangunan HTR sesuai dengan ketentuan maka setiap 2 tahun IUPHHK-HTR dilakukan evaluasi oleh BP2HP, dalam hal dimana pelaksanaan pembangunan HTR tidak sesuai dengan ketentuan, Bupati dapat membatalkan izin yang telah diterbitkan dan dapat menerbitkan perizinan kepada pemohon lain. Hal-hal yang menyebabkan dapat dicabutnya izin HTR berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-I/2008 adalah (1) memindahkan izin HTR tanpa persetujuan tertulis pemberi izin (2) tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak izin diberikan, atau (3) tidak menyusun RKUPHHK-HTR paling lambat 2 tahun setelah izin diberikan.

B. Pencadangan Areal dan Penerbitan Izin HTR
Dalam Roadmap Pembangunan Industri Kehutanan Berbasis Hutan Tanaman, hutan tanaman diharapkan menjadi penopang utama bahan baku industri kehutanan nasional dimana diproyesikan hutan tanaman akan menghasilkan kayu bulat sebesar 362,5 juta m3 pada tahun 2020. Untuk menunjang kebutuhan industri kehutanan tersebut ditargetkan penambahan luas areal hutan tanaman dalam waktu 20 tahun (2011-2020) seluas 19,5 juta hektar yang berasal dari HTR seluas 1,7 juta hektar, Hutan Rakyat seluas 7,8 juta hektar dan HTI seluas 10 juta hektar.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal realisasi pencadangan areal HTR selama 5 tahun (2010-2014) adalah seluas 387.192 hektar dan secara komulatif sejak program HTR digulirkan pada tahun 2007 realisasi penetapan pencadangan kawasan hutan produksi untuk HTR oleh Menteri Kehutanan sampai dengan 2014 adalah seluas 734.397,73 Ha. Angka pencadangan areal HTI ini belum dapat dijadikan dasar sebagai realisasi terbangunnya areal HTR karena masih harus ada proses pemberian izin HTR oleh Bupati kepada pemohon HTR baik perorangan maupun koperasi.
Tabel 1 dibawah ini menunjukan rasio perbandingan penetapan pencadangan HTR dan realisasi penerbitan izin HTR sejak tahun 2008 – 2014 berdasarkan per Provinsi. Berdasarkan tabel tersebut realisasi penerbitan izin HTR, sampai dengan tahun 2014 baru mencapai 194.195,09 juta hektar atau hanya 26,59% dari total luasan areal yang telah dicadangkan. Realisasi pencadangan terluas adalah Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 68.945 hektar (9,39%) dan terendah adalah Bali seluas 375 hektar (0,05%). Rasio perbandingan antara pencadangan dan penerbitan izin yang terbesar adalah DIY yang mencapai 100% dan terkecil adalah Bali sebesar 0%.

Tabel 1. Rasio Perbandingan Pencadangan HTR dan Realisasi Penerbitan Izin HTR
Tahun 2008 s/d 2014
No Provinsi Pencadangan (ha) Penerbitan Izin HTR (ha) Rasio
% Ket
1. Aceh 20.155 3.545,00 17,59
2. Sumut 53.035 11.810,61 22,27
3. Riau 55.058 2.792,00 5,07
4. Sumbar 6.935 2.247,00 32,40
5. Sumsel 42.605 2.799,25 6,57
6. Bengkulu 23.693 22.177,00 93,60
7. Jambi 57.136 4.870,09 8,52
8. Lampung 24.835 16.651,00 67,05
9. Babel 20.632 1.607,00 7,79
10. Kepri 21.530 21.530,00 100,00
11. Kalbar 42.690 826,00 1,93
12. Kalteng 19.010 2.075,00 10,92
13. Kalsel 29.758 6.736,73 22,64
14. Kaltim 2.090 93,00 4,45
15. DIY 327,73 327,73 100,00
16. Bali 375 - 0,00
17. NTB 4.396 3.122,55 71,03
18. NTT 23.917 413,77 1,73
19. Sulsel 41.365 7.302,00 17,65
20. Sulteng 28.310 3.199,00 11,30
21. Sulbar 32.860 6.005,40 18,28
22. Sultra 68.945 10.218,95 14,82
23. Sulut 48.140 28.104,00 58,38
24. Gorontalo 13.120 707,00 5,39
25. Malut 24.120 19.218,00 79,68
26. Papua 29.350 16.892,35 57,55
Total 734.397,33 195.270,43 26,59
Sumber : Data Diolah Ditjen BUK, 2014
Berdasarkan Tabel 2 di bawah ini dari luas izin HTR seluas 195.270,43 hektar terdiri dari 103 izin koperasi dengan luas 146.324,43 hektar dan 7.051 izin perorangan dengan luas 48.946 hektar yang tersebar di 74 kabupaten dan 26 Provinsi.

Tabel 2. Realisasi Penerbitan Izin HTR
Tahun 2008-2014
No Provinsi Koperasi Perorangan (KK) Total
Jml Luas Jml Luas Jml Luas
1. Aceh 5 3.301,00 20 244,00 25 3.545,00
2. Sumut 6 11.810,61 - - 6 11.810,61
3. Riau 5 2.792,00 - - 5 2.792,00
4. Sumbar 3 1.590,00 88 657,00 91 2.24700
5. Sumsel 2 738,25 930 2.061,00 932 2.799,25
6. Bengkulu 10 22.177,00 - - 10 22.177,00
7. Jambi 4 3.757,09 234 1.113,00 238 4.870,09
8. Lampung 8 16.651,00 - - 8 16.651,00
9. Babel - - 698 1.607,00 698 1.607,00
10. Kepri 2 21.530,00 - - 2 21.530,00
11. Kalbar 1 700,00 27 126,00 28 826,00
12. Kalteng 1 1.744,00 33 331,00 34 2.075,00
13. Kalsel 13 6.142,73 105 594,00 118 6.736,73
14. Kaltim - - 31 93,00 31 93,00
15. DIY 3 327,73 - - 3 327,73
16. Bali - - - - - -
17. NTB 12 3.122,55 - - 12 3.122,55
18. NTT 2 413,77 - - 2 413,77
19. Sulsel 15 3.967,00 449 3.335,00 464 7.302,00
20. Sulteng - - 1.100 3.199,00 1.100 3.199,00
21. Sulbar 1 242,40 557 5.763,00 558 6.005,40
22. Sultra 3 9.206,95 197 1.012,00 200 10.218,95
23. Sulut - - 2.408 28.104,00 2.408 28.104,00
24. Gorontalo - - 174 707,00 174 707,00
25. Malut 4 19.218,00 - - 4 19.218,00
26. Papua 3 16.892,35 - - 3 16.892,35
103 146.324,43 7.051 48.946,00 7.154 195.270,43
Sumber : Ditjen BUK, 2014
Luasan penerbitan izin HTR, sangat kontras jika dibandingkan dengan luasan izin HTI. Berdasarkan data Ditjen BUK total luas izin HTI sampai dengan tahun 2014 mencapai 10.582.600 hektar sementara HTR hanya 195.270,43 hektar atau dengan kata lain total luas izin HTR hanya 1,85% dari total luas izin HTI.
Tabel 3. Perbandingan Total Luas Izin HTI dan HTR Tahun 2008-2014
Tahun HTI (ha) HTR (ha)
2008 7.154.832 8.794
2009 8.673.016 32.846
2010 8.975.375 113.314
2011 9.633.579 163.106
2012 9.834.744 177.791
2013 10.106.540 187.712
2014 10.582.600 195.270
Sumber : Data Diolah dari Statistik Kemenhut
Perbandingan luasan yang sangat kontras antara luasan izin HTR dengan HTI seperti pada Tabel 3 tersebut di atas menunjukan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat untuk ikut andil dalam pengelolaan hutan produksi nampaknya masih sangat rendah.
Rendahnya realisasi penerbitan izin HTR oleh Bupati menurut Tuti (2011) berdasarkan hasil penelitian di 3 lokasi yaitu Provinsi Riau, DI Yogya dan Kalimantan Selatan yang menjadi permasalahan adalah belum siapnya pemerintah daerah, kesiapan masyarakat calon petani HTR, ketidakserasian pemahaman kebijakan HTR antara pemerintah dan pemerintah daerah di lapangan (Kalsel). Hal lain yang menjadi permasalahan antara lain lambatnya proses verifikasi lokasi calon areal HTR yang dilakukan oleh BPPHP setempat, sebagai salah satu contoh adalah pengaduan salah satu koperasi ke Unit Kerja Koperasi Tani Hutan Makmur di Desa Silo Baru, Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, yang telah mendapat SK Menhut RI No. SK.381/Menhut-II/2011 (18 Juli 2011) tentang Pencadangan Areal untuk Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat seluas 335 Ha di Asahan, namun sampai dengan tahun 2012 belum dilakukan verifikasi lokasi oleh BPPHP Wilayah II Medan padahal masa berlaku SK pencadangan terbatas hanya 2 tahun.
Sedangkan Ardi (2011) mengungkapkan bahwa akses terhadap lahan pencadangan HTR dalam bentuk IUPHHK-HTR belum terwujud karena masyarakat belum mampu memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan peraturan perundangan sebagai akibat kebijakan yang tidak memperhatikan karateristik sumberdaya lokal, kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga sumberdaya.
Endang (2011) mengatakan bahwa masyarakat masih memandang hutan sebagai sumber penghidupan utama bagi keluarganya sehingga seharusnya ijin pengelolaannya dapat diwariskan walaupun tanah atau lahannya mereka sadari sebagai milik negara. Rendahnya persepsi responden terhadap ketentuan hak dan kewajiban menunjukkan bahwa masyarakat memandang ketentuan pelaksanaan HTR sebagai beban. Ketentuan HTR yang realistis baru sebatas pada pemberian ijin sedangkan ketentuan yang mengatur kegiatan setelah ijin keluar belum mempertimbangkan kemauan dan kemampuan masyarakat sebagai pelaksananya.
Dewi (2011) mengungkapkan bahwa rendahnya (a) terdapat perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan HTR antara Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah; (b) asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan tersebut kurang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada; dan (c) Ketidaksiapan para pemangku kegiatan (stakeholders) yang terdapat dalam struktur implementasi HTR dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

C. Realisasi Penanaman dan Produksi Kayu Bulat HTR
Direktorat Bina Usaha utan Tanaman (2014), mengungkapkan bahwa sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 dari izin HTR seluas 195.288,43 hektar realisasi penanaman HTR baru mencapai 13.722,78 hektar (7,03%) atau rata-rata hanya 2.287,3 hektar / tahun. Rendahnya realisasi penanaman HTR ini menurut Direktorat BUHT disebabkan karena permasalahan-permasalahan antara lain belum optimalnya pemanfaatan lahan (teknik pengolahan lahan), aspek kelembagaan dan manajemen belum kuat, kurangnya keterampilan teknis pelaku usaha HTR, kurangnya modal usaha, kurangnya pendampingan/fasilitasi dari instansi terkait.
Soerianegara dan Lemmens (1993) dalam Haruni dkk (2011) melaporkan bahwa riap tumbuh maksimum jenis kayu Sengon pada rotasi 10 tahun adalah 50 cm3/ha dan menurut Sumarna (1961) total volume yang dihasilkan bisa mencapai 350-400 m3/ha. Dengan asumsi seluruh areal izin HTR ditanami jenis Sengon, maka dalam waktu 10 tahun seharusnya sudah bisa dihasilkan volume kayu bulat sebesar 68-78 juta m3. Dengan realisasi penanaman HTR yang hanya seluas 13.722,78 hektar, maka pemegang izin HTR berpotensi kehilangan volume kayu bulat sebesar 63-72 juta m3 atau hampir setara 31-36 triliun rupiah dengan asumsi harga Sengon Rp.300.000,- / m3.
Data mengenai produksi kayu bulat yang berasal dari HTR masih sangat sulit diperoleh sehingga tidak diketahui gambaran dan trend perkembangn produksi kayu bulat yang berasal dari HTR.
D. Fasilitas Pembiayaan Dana Bergulir
Fasilitas pembiayaan pinjaman dan bergulir (PDB) yang disediakan pemerintah melalui Pusat P2H BLU nampaknya belum banyak dimanfaatkan oleh para pemegang izin HTR. Berdasarkan data Direktorat BUHT dari 103 pemegang izin berbentuk koperasi yang telah memanfaatkan dana bergulir hanya 35 koperasi dengan total akad kredit mencapai Rp.53.666.500.000,- sedangkan realisasi penyalurannya baru mencapai Rp.8.121.620.000,-.
Brasmantoro (2010) mengungkapkan bahwa kebijakan PDB HTR menunjukkan potensi kelemahan berupa (1) sempitnya pilihan bagi petani akibat skema yang tunggal (one size fits all) dan hanya berorientasi pada pembangunan tanaman, tata cara permohonan yang kompleks dan jauhnya lokasi pengurusan pinjaman (BLU Pusat P2H berkantor di Jakarta) berisiko salah sasaran karena hanya individu atau lembaga yang memiliki kemampuan finansial cukup yang dapat mengurusnya, (2) kelemahan lainnya adalah pengembangan PDB-HTR yang mengandalkan laporan laporan administratif tanpa menghadirkan organisasi khusus pengelola program di level tapak, dikhawatirkan akan mengganggu efektivitas program. Dalam pemanfaatan kredit, ketiadaan unit pengelola program pinjaman dapat menimbulkan persepsi bahwa uang yang dipinjamkan merupakan “uang yang tidak bertuan”. (3) tidak adanya pendampingan pada pemberian kredit berkelompok (mekanisme tanggung renteng) sebagaimana pendampingan yang dilakukan oleh Grameen Bank (Yunus 2007) dan kemitraan industri pengolahan kayu bersama petani HR di Pulau Jawa (Prihadi 2010).
Hasil penelitian Entin (2012) menunjukkan bahwa kinerja PDB HTR buruk, dan tujuan PDB HTR belum tercapai yaitu tepat lokasi, tepat pelaku, tepat kegiatan, tepat penyaluran dan pengembalian. Ketidaktepatan pelaku dan lokasi karena dari 2 koperasi yang sudah menerima penyaluran PDB HTR keduanya tidak terbebas dari konflik. Tidak tepat kegiatan dan penyaluran karena dana PDB HTR digunakan oleh penerimanya untuk kepentingan selain penanaman. Buruknya kinerja PDB HTR dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Karakteristik. Karakteristik yang mempengaruhi kinerja PDB HTR terdiri dari karakteristik kredit, karakteristik petani dan karakteristik usaha sebagai berikut: (A) karakteristik kredit, seperti: (a) risiko kredit sangat tinggi karena rentan terkena hama penyakit, mudah terpengaruh oleh gangguan alam dan manusia seperti kemarau, kebakaran hutan, dan pencurian, (b) pinjaman cukup besar yaitu Rp.68 juta per 8 Ha (Rp 8.5 juta x 8 Ha) atau 2.5 Milyar untuk satu kelompok tani (luas maksimal kelompok tani adalah 300 Ha), dan (c) tidak ada pendanaan dari penerima pinjaman (self financing). (B) Karakteristik penerima pinjaman, meliputi: (a) karakteristik penerima pinjaman bervariasi, (b) pengalaman kredit investasi minim, (c) kemampuan manajerial rendah (kapasitas), (d) aset yang dimiliki beragam, dan (e) karakteristik informasi sulit (karakteristik pasar), dan (C) karakteristik usaha HTR bervariasi, terdiri dari: (a) areal yang dekat dengan pemukiman penduduk ataupun yang jauh dari pemukiman (remote). (b) areal yang datar hingga curam, (c) sarana dan prasarana yang beragam, (d) karakteristik lahan yang berlainan, dan areal sudah diokupasi oleh masyarakat dan (D) karakteristik informasi pasar yang rendah.
2. Aturan main pinjaman belum mendukung, yaitu belum adanya: (a) kebijakan yang sesuai, (b) kemudahan prosedur dalam mengakses kredit, (c) ketepatan waktu penyaluran dan jumlah pinjaman yang sesuai. Ketiganya tidak dipenuhi oleh kelembagaan PDB HTR, dimana kebijakan yang dibuat sangat tidak sederhana sehingga tidak sesuai dengan karakteristik penerima pinjaman. Diskursus PDB HTR adalah diskursus pesanan dari pemerintah (state endangered order) tanpa memperhatikan karakteristik atau situasi petani sebagai salah satu subyek pembangunan HTR.
3. Organisasi pengelola dana PDB HTR belum didukung oleh kebijakan yang sesuai dengan karakteristik dan persepsi masyarakat penerima PDB HTR, yaitu: (a) sistem insentif dan keleluasaan dalam pengambilan keputusan di level tapak, (b) keberhasilan dalam menentukan lokal agen, (c) pembinaan yang intensif. BLU Pusat P2H sebagai pengelola dana PDB HTR hanya berlokasi di Jakarta sehingga sulit dalam menentukan lokal agen yang tepat melakukan pembinaan yang intensif, dan,
4. Persepsi terhadap PDB HTR. Persepsi petani terhadap PDB HTR umumnya belum paham tentang PDB HTR. Sedangkan persepsi para pihak umumnya pesimistis terhadap perkembangan PDB HTR jika kelembagaan yang dimaksud tidak diperbaiki.


III. Kesimpulan dan Saran
Hasil pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan HTR tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan antara lain karena faktor-faktor sebagai berikut :
1. Kebijakan HTR dipandang tidak memperhatikan karateristik sumberdaya lokal, kapasitas masyarakat dan efisiensi tata niaga sumberdaya.
2. Rendahnya tingkat partisipatif pemerintah daerah (Kabupaten) untuk mendorong pelaksanaan pembangunan HTR sebagai salah satu bagian upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayahnya.
3. Koordinasi antar stakeholder terkait lemah, perbedaan persepsi dan pemahaman regulasi dan kebijakan HTR di tingkat pusat dan daerah.
4. Kurangnya fasilitasi sosialisasi dan pendampingan sampai pada tingkat tapak.
5. Kelembagaan masyarakat belum kuat.
6. Masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap program HTR, antara lain :
a. Masyarakat memandang izin dan areal HTR sebagai hak yang dapat diwariskan
b. Ketentuan peraturan prosedur pelaksanaan HTR masih dipandang sebagai beban
7. Aspek teknis : kemampuan managerial, keterampilan teknis pelaku usaha rendah
8. Pembiayaan :
a. persepsi petani terhadap mekanisme PDB HTR pada umumnya belum paham
b. tata cara permohonan yang kompleks dan jauhnya lokasi pengurusan pinjaman (Pusat P2H BLU berada di Jakarta)
c. tidak adanya pendampingan pada pemberian kredit berkelompok
Harapan dari terbangunnya HTR adalah meningkatnya produktifitas hutan produksi secara optimal, perekonomian masyarakat berputar dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Untuk mendorong peningkatan kinerja dan produktifitas HTR upaya sinergis dari semua pihak yang terlibat mutlak sangat diperlukan.
Berikut ini adalah beberapa saran yang perlu digarisbawahi dalam rangka percepatan pembangunan HTR :
1. Menyederhanakan peraturan prosedur untuk mendapatkan izin agar lebih mudah diakses masyarakat.
2. Mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perijinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat.
3. Kelembagaan
a. Penguatan kelompok lokal sebagai organisasi yang akan mengusulkan kawasan kelola dan usaha untuk mendapatkan IUPHHK-HTR melalui pembinaan dan pendampingan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah daerah dan dibantu dengan lembaga swadaya masyarakat.
b. membentuk forum komunikasi, koordinasi dan layanan informasi antar stakeholders dalam pembangunan HTR sebagai sarana untuk mencari solusi permasalahan pembangunan HTR, pengembangan peluang kemitraan dan pemasaran, serta pusat informasi pembangunan HTR.
c. Membentuk kelompok pemasaran
4. Asistensi teknis dan permodalan untuk pembangunan HTR yang lebih mudah diakses oleh masyarakat untuk mendapatkan IUPHHK-HTR maupun pembangunannya.
5. Sosialisasi sampai dengan tingkat tapak untuk meningkatan persepsi masyarakat terhadap alokasi lahan untuk HTR, jangka waktu dan luasan penguasaan lahan HTR.
6. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pendamping
7. mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini (misalnya tanaman Karet) sebagai motivasi agar masyarakat mau berpatisipasi dalam kebijakan HTR;
8. Mendorong pengusaha HTI untuk bermitra dengan pemegang izin HTR sebagai salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat dan resolusi penyelesaian konflik.
9. Pemberian jaminan pemasaran dan pengolahan produk HTR






Daftar Pustaka
Agus Wibowo Dwi Saputro, 2012. Modal Sosial dan Persepsi Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sekolah Pascasarjana IPB.
Ardi, 2012. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun Jambi). Sekolah Pascasarjana IPB.
Bambang Hendroyono , 2014. Arah Kebijakan dan Evaluasi Pembangunan HTR (paparan pada rapat pembahasan percepatan pembangunan HTR 2014). Ditjen BUK.
Bramasto Nugroho, 2010. Pembangunan Kelembagaan Pinjaman Dana Bergulir Hutan Rakyat.
Dewi Febriani, 2011. Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat Di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Sekolah Pascasarjana IPB,
Ditjen BUK, 2011. Road Map Pembangunan Industri Kehutanan Berbasisi Hutan Tanaman. Kemenhut.
Endang Pujiastuti, 2011. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Sekolah Pascasarjana IPB.
Haruni dkk, 2011. Paraserianthes falcataria(L.) Nielsen Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR.
Kemenhut, 2014. Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013.
Tuti Herawati , 2011. Hutan Tanaman Rakyat : Analisis Proses Perumusan Kebijakan dan Rancang Bangun Model Konseptual Kebijakan. Sekolah Pascasarjana IPB.
www.lapor.ukp.go.id/id/26588/realisasi-hutan-tanaman-rakyat-%28htr%29-tersendat-di-asahan.html
www.possore.com/2014/02/11/pengusaha-hti-wajib-gaet-masyarakat-htr/



Posted by Nukil On 22.48 2 comments READ FULL POST

Kamis, 27 November 2014

ANALISIS SUMBERDAYA ALAM HUTAN
Maman Permana, Eko Widjajanto, Sasongko Hardono, Santi Susanti, Adi Widyanto

I. KUALITAS DAN KUANTITAS KETERSEDIAAN SDA HUTAN

Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (2) mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan pada ayat (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hutan yang merupakan salah satu kekayaan alam terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Hutan merupakan penyangga kehidupan karena memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan alam. Menurut fungsinya hutan terbagi dalam 3 fungsi yaitu (1) hutan konservasi yang berfungsi untuk pengawetan tumbuhan dan satwa serta ekosistem, sumber genetik pengembangan pangan, biofarmasi danlain-lain, (2) hutan lindung yang berfungsi untuk perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan banjir, erosi, intrusi air laut dan keseburan tanah (3) hutan produksi yang berfungsi untuk menghasilkan produksi kayu, non kayu, jasa lingkungan, pangan, bio energi dll.
Hutan hujan tropis Indonesia adalah yang unik di dunia ini. Hutan ini tumbuh di atas ribuan pulau yang terbentang dalam jarak “dari London, Inggris ke Kairo, Mesir” (Emil Salim dalam Hariadi, 2008). Selain menyimpan potensi megabiodiversity yang belum semuanya teridentifikasi dan tereksplorasi, hutan juga menyimpan potensi permasalahan yang rumit yang cakupannya tidak dapat disederhanakan menjadi “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” seperti lagu ciptaan Yok Koeswoyo (Hariadi, 2008).

A. Kawasan Hutan
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu, yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global. Kawasan Hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi. Penunjukan kawasan hutan mencakup pula kawasan perairan yang menjadi bagian dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan dibagi kedalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut :
▪ Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
▪ Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
▪ Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi.
Hutan konservasi terdiri dari (1) Kawasan suaka alam berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM); (2) Kawasan pelestarian alam berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (THR) dan Taman Wisata Alam (TWA); dan (3) Taman Buru (TB). Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman Buru (TB) adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, luas kawasan hutan dan perairan Indonesia sampai dengan 2013 adalah 129.425.443,29 hektar dengan perincian sebagaimana Tabel 1. di bawah ini.

Tabel 1. Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Dan Perairan
No Kawasan Hutan Luas Ket
Sumber : Kemenhut, 2014

B. Kondisi Penutupan Lahan/ Vegetasi
Penutupan Lahan/Vegetasi adalah kondisi permukaan bumi yang menggambarkan kenampakan penutupan lahan dan vegetasi. Keadaaan penutupan lahan/vegetasi Indonesia diperoleh dari hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ secara lengkap menggunakan data liputan tahun 2011. Penafsiran untuk penutupan lahan/vegetasi dibagi kedalam dua klasifikasi utama yaitu Areal Berhutan dan Areal Tidak Berhutan, yang kemudian masing-masing diklasifikasikan lagi secara lebih detil menjadi kelas-kelas sebagai berikut (1) Areal Berhutan terdiri dari Hutan Primer, Hutan Sekunder, Hutan Tanaman (2) Areal Tidak Berhutan (Kemenhut, 2014).
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2011, total daratan Indonesia yang ditafsir adalah sebesar ± 187.840,9 Juta ha terdiri dari Areal berhutan : 98.072,7 juta ha (52,2%) dan Areal tidak berhutan : 89.768,9 juta ha (47,8 %).
Luas tutupan hutan Indonesia mengalami kecenderungan menurun (FWI, 2011). Hasil analisis tutupan hutan Forest Wacth Indonesia (FWI) menunjukan bahwa luas daratan Indonesia pada tahun 2009 adalah 190,31 juta ha sementara luas tutupan hutannya 88,17 juta ha atau sekitar 46,33% dari luas daratan Indonesia. Persentase luas tutupan hutan terhadap luas daratan di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah 79,62 persen, Kalimantan 51,35 persen, Sulawesi 46,65 persen, Maluku 47,13 persen, Sumatera 25,41 persen, Bali-Nusa Tenggara 16,04 persen, dan Jawa 6,90 persen.

Tabel 2. Sebaran Tutupan Indonesia 2009
Sumber : (FWI, 2009)
Pasal 18 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur dan menetapkan angka “kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan dan penutupan hutan yang harus dipertahankan adalah minimal 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional”. Jika kita mengacu kepada angka tersebut, maka luas tutupan hutan di pulau Sumatera, Bali-Nusa Tenggara dan Jawa tidak terpenuhi. Berdasarkan luas total tutupan hutan Indonesia, Papua merupakan daerah yang memiliki proporsi tutupan hutan terluas di Indonesia dengan persentase sebesar 38,72 persen, diikuti Kalimantan 31,02 persen, Sumatera 13,39 persen, Sulawesi 10,25 persen, Maluku 4,26 persen, Bali-Nusa Tenggara 1,34 persen dan Jawa 1,02 persen.
Kondisi penutupan lahan kawasan hutan terus berubah sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan berbasis lahan di berbagai daerah. Hal ini mendorong terjadinya deforestasi, yaitu perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan, termasuk perubahan untuk kepentingan pembangunan perkebunan, pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain).
Deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan (termasuk perubahan untuk perkebunan, pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain). Menurut fungsi kawasan, deforestasi terjadi di hutan konservasi seluas 25,336.2 ha; hutan lindung, seluas 67,329.5 ha; hutan produksi terbatas,seluas 129,508.0 ha; dan hutan produksi, seluas 256,444.4 ha (StatistikKehutananTahun 2011). Bahkan menurut Greenpeace pada tahun 2007 laju kerusakan hutan di Indonesia layak dimasukan dalam Guiness Book of Record karena Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam. Menurut FAO, angka deforestasi Indonesia tahun 2000-2005 mencapai 1.8 juta hektar/tahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yaitu 2.8 juta hektar/tahun. Indonesia masih dibawah Brasil yang menempati tempat pertama dengan kerusakan 3.1 juta hektar per tahun, dengan gelar kawasan deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas kawasan hutan total Indonesia jauh lebih kecil daripada Brasil, maka laju deforestasi Indonesia menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Indonesia adalah 2% per tahun, dibandingkan dengan Brasil yang hanya 0.6%.

C. Potensi Tegakan Hutan
Untuk mengetahui potensi tegakan hutan, Kementerian Kehutanan sejak tahun 1990 telah melaksanakan pengukuran Temporary Sample Plot dan Permanent Sample Plot (TSP - PSP) di kawasan hutan di bawah ketinggian 1.000 m dpl di seluruh Indonesia (kecuali Pulau Jawa). Pengukuran TSP dilaksanakan untuk mengetahui potensi tegakan hutan, sedangkan PSP dilaksanakan untuk mengetahui riap tegakan dan monitoring perubahan tegakan hutan. Hasil pengukuran TSP dan PSP antara lain digunakan untuk menentukan rata-rata potensi tegakan per HA untuk semua jenis di masing-masing Provinsi dan secara nasional.

Tabel 2. Rata-rata Potensi Tegakan per Hektar untuk Semua Jenis Tahun 2012
(Kementerian Kehutanan, 2014)

II. PEMANFAATAN SDA HUTAN DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL

A. Pemanfaatan SDA Hutan
Kegiatan pemanfaatan hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan. “Pemanfaatan Hutan” menurut PP 6 Tahun 2007 adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya”.
Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Kegiatan pemanfaatan hutan bisa dilakukan melalui kegiatan (1) pemanfaatan kawasan (2) pemanfaatan jasa lingkungan (3) pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu (4) pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu kawasan; a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi (Pasal 18 PP 6 Tahun 2007).
Dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan harus disertai dengan izin pemanfaatan hutan yang berupa :
1. Izin usaha pemanfaatan kawasan yang selanjutnya disingkat IUPK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi;
2. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan yang selanjutnya disingkat IUPJL adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi;
3. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IUPHHK dan/atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disebut IUPHHBK adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan;
4. IUPHHK dan/atau IUPHHBK dalam hutan tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran;
5. Izin pemungutan hasil hutan kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu;
6. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disingkat IPHHBK adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getahgetahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu.
Pengelolaan kawasan konservasi dilakukan sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011. Kawasan konservasi dikelompokkan menurut fungsinya, yaitu: Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam) dan Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), serta satu kategori menurut UU No. 41 Tahun 1999, yaitu Taman Buru.

Tabel 3. Sebaran Kawasan Konservasi
Sumber : Statistik Kawasan Hutan 2013, Ditjen Planologi

Kegiatan pemanfaatan hutan pada kawasan konservasi dan hutan lindung berupa izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan antara lain dalam bentuk pemberian Izin Pengusahaan Parawisata Alam (IPPA) dalam Kawasan Pelestarian Alam KPA. Perkembangan penerbitan IPPA sampai dengan tahun 2013 berjumlah 140 unit.
Kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi diklasifikasi berdasarkan 2 jenis yaitu pemanfaatan pada hutan alam dan hutan tanaman. Pada hutan alam pemberian izin usaha pemanfaatan hutan diberikan dalam bentuk (1) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) (2) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHBK-HA) (3) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Sedangkan pada hutan tanaman izin pemanfaatan yang diberikan adalah (1) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) (2) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHBK-HT) (3) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Dari Hutan produksi seluas 73.946.572,40 Ha yang telah dibebani izin pemanfaatan sebagaima tersebut di atas adalah seluas 32.156.388,97 Ha dengan rincian sebagaimana Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Perkembangan Pemberian Izin Pemanfaatan Hutan
(Kemenhut, 2014)

Pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam dan hutan tanaman menghasilkan hasil hutan berupa kayu bulat. Realisasi produksi kayu bulat yang berdasarkan sumber produksinya yaitu hutan alam dan hutan tanaman sejak tahun 2010 sampai dengan 2009 mencapai 81.427.167,65 M3, dengan rincian pertahun sebagaimana disajikan pada tabel 5.



Tabel 5. Realisasi Produksi Kayu Bulat Berdasarkan Sumber Produksi
Tahun 2010-2013
(Kemenhut, 2014)

Selain pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana tersebut di atas, pemerintah pada areal tertentu dalam kawasan hutan dapat ditetapkan sebagai hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa dan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) (Pasal 11, PP 6 / 2007). Penetapan kawasan hutan sebagai huta kemasyarakatan dan hutan desa merupakan salah satu bentuk perhutanan sosial dimana usaha berbasis hutan dan lahan dengan hasil kayu dan bukan kayu, yang pengelolaannya diutamakan untuk pengembangan ekonomi rakyat dengan memperhatikan aspek sosial, budaya dan penyelamatan lingkungan. Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Areal kerja Hutan Desa adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh lembaga desa secara lestari. Penyelenggaraan Hutan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan sebagaimana tersebut dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor : P.49/Menhut-II/2010. Hutan kemasyarakatan berdasarkan Permenhut No. 37 Tahun 2007 tanggal 7 September 2007 jo No. 13 tahun 2010 adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Pemberdayaan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Perkembangan penetapan hutan desa dan hutan kemasyarakat tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 adalah seluas 263.897 Ha untuk HD dan 414.894 Ha untuk HKm. Hasil hutan yang dihasilkan dari Hutan Kemasyarakat adalah berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti lebah madu, sutera alam, budidaya rotan dan bambu.

B. Kontribusi SDA Hutan terhadap Pembangunan Nasional
1. Aspek Ekonomi
Aspek manfaat hutan dari kinerja ekonomi dapat dilihat dari penerimaan pendapatan negara dari sektor kehutanan kehutanan melalui penerimaan Negara bukan pajak (PNBP). Pada tahun 2009, PNBP Kehutanan yang bersumber dari sumberdaya alam menghasilkan penerimaan sejumlah Rp 2.397.581.426.000 dengan pendapatan terbesar berasal dari Dana Reboisasi (DR), sejumlah Rp 1.455.054.128.972 dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), sejumlah Rp 674.358.139.368. Selain itu, terdapat PNBP dari sumber lainnya, yaitu sejumlah Rp 8.853.729.750 sehingga total PNBP Kehutanan menjadi sejumlah Rp 2.397.581.426.000. Secara total PNBP Kehutanan menunjukan peningkatan dan pada tahun 2011, total PNBP adalah Rp 3,493,572,376,877 terkumpul diantaranya dari DR sejumlah Rp 1,822,918,775,943; PSDH sejumlah Rp 868,554,342,252; serta PNBP lainnya, sejumlah Rp 213,073,743,906. Pada tahun 2009, kegiatan pertambangan memberikan kompensasi sebesar Rp 168,050,893,896 dengan kompensasi tertinggi dari Provinsi Kalimantan Selatan, sebesar Rp 96,822,763,556 dan non tambang sebesar Rp 1,746,440,968 dengan kompensasi tertinggi berasal dari Provinsi Jambi, yaitu sebesar Rp 610,696,219. PNBP Kehutanan ini terus meningkat, baik yang bersumber dari penggunaan kawasan untuk areal pertambangan maupun untuk kegiatan non tambang. Pada tahun 2011, PNBP dari kegiatan pertambangan memberikan kompensasi sebesar Rp 429,875,944,773 dan non tambang sebesar Rp 2,674,680,384. Pada akhir tahun 2012, berdasarkan data yang terkumpul, kompensasi dari kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan meningkat lagi menjadi sebesar Rp 771,704,191,899 dan non tambang menjadi sebesar Rp 6,503,014,071. Hal ini secara tidak langsung menunjukan terjadinya peningkatan kegiatan pembangunan sektor lain di dalam kawasan hutan yang memerlukan perhatian, terutama berkaitan dengan pemantapan kawasan hutan dalam kerangka tata ruang wilayah provinsi maupun kabupaten/kota. Pada tahun 2013 terjadi penurunan penerimaan PNBP dari semula Rp.3.877.215.642.988 pada tahun 2012 menjadi Rp. 3.350.499.161.199 sebagai akibat tidak adanya penerimaan dari DPH.
Tabel 6. Realisasi Penerimaan PNBP Kehutanan 2009-2013

Tabel 7. PNBP Kehutanan dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Tambang dan Non Tambang Tahun 2007-2013

Produksi kayu bulat dari hutan alam dari tahun 1970 terus meningkat sampai dengan tahun 1980, kemudian cenderung stabil antara 20-23 juta M3/tahun sampai dengan tahun 1998. Kemudian terjadinya krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997 turut menekan produksi kayu bulat hutan alam menjadi 8-13 juta M3/tahun. Mulai tahun 2002 produksi kayu bulat mulai menunjukan peningkatan yang berasal dari tambahan produksi kayu bulat yang dihasilkan dari hutan tanaman.
Produksi kayu olahan Indonesia khususnya kayu lapis meningkat pasca pelarangan ekspor kayu bulat tahun 1985 sampai dengan masa krisis ekonomi tahun 1998. Kemudian industri pengolahan kayu lapis semakin berkurang sebagai akibat dari kurangnya pasokan bahan baku kayu bulat dari hutan alam. Pasokan kayu bulat yang berasal dari hutan tanaman ternyata lebih banyak untuk memasok kebutuhan bahan baku industri pulp.

Gambar 1. Perkembangan Produksi Kayu Olahan dan Jumlah Industri


Kontribusi hasil hutan bukan kayu dalam perekonomian dari sektor kehutanan masih sangat terbatas. Dalam skala industri besar baru terbatas dilakukan oleh Perum Perhutani yang memproduksi gondorukem, kopal dan terpentin. Hasil hutan lainnya meskipun ada masih dipasarkan dalam skala kecil atau untuk kebutuhan lokal masyarakat sehari-hari. Kementerian Kehutanan sendiri kesulitan untuk melakukan pendataan produksi maupun peredaran hasil hutan bukan kayu. Data ekspor HHBK tahun 2007-2009 tersaji pada tabel dibawah ini :
Tabel 8. Perkembangan ekspor HHBK 2007-2009
Nilai ekspor kayu lapis dan kayu gergajian cenderung menurun, sedangkan nilai ekspor pulp meningkat tetapi tidak memberi peningkatan secara total ekonomi kehutanan. Sehingga PDB kehutanan terus menurun dan kontribusinya terhadap PDB Indonesia kurang dari 1%.

Tabel 9. Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2000-2013
(BPS, 2013)

Tabel 10. Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000-2013
(BPS, 2013)


2. Aspek Sosial Kehutanan
Kinerja aspek sosial kehutanan dinilai sebagian besar kalangan termasuk kurang berhasil, dari sisi kebijakan saja pemerintah dinilai kurang memberikan akses terhadap masyarakat kecil. Meskipun kehutanan secara kebijakan peran serta masyarakat telah diakomodir dalam berbagai ruang kebijakan namun dalam prakteknya kesempatan berusaha disektor kehutanan masih didominasi usaha besar. Sebagai perbandingan dalam RKTN 2011-2030, luas arahan pemanfaatan pada tahun 2030 di kawasan hutan efektif (112.34 juta ha) alokasi hutan untuk pemanfaatan skala kecil sebesar 5.57 juta ha (5%). Kemudian realisasi kebijakan yang tidak berpihak pada pengembangan ekonomi masyarakat di sekitar hutan Nampak juga pada pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 11. Perbandingan Luasan Izin Pemanfaatan

Data BPS dan Kementerian Kehutanan menunjukan bahwa ada 31.957 desa/kampung yang berada dan berinteraksi di sekitar hutan dan 71% diantaranya menggantungkan kehidupan dari hutan (Epistema, 2011). Sebagai akibat ketidakberpihakan kebijakan pemerintah terhadap masyarakat kecil dan di sekitar hutan menimbulkan kesenjangan yang berakibat pada pecahnya konflik sosial antara masyarakat dan para pemegang izin pemanfaatan.
Berdasarkan data Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman Tahun 2012, terjadi 103 kasus konflik pada 50 unit IUPHHK-HT. Kurang seriusnya penanganan konflik oleh Kementerian Kehutanan dapat dilihat dari kurangnya kasus konflik sosial yang tertangani sampai dengan selesai.

3. Aspek Lingkungan
Upaya perlindungan ekosistem melalui penetapan kawasan hutan lindung dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan eksistensi hutan sebagai penjaga cadangan mata air, menjaga siklus karbon, mencegah banjir dan lain sebagainya. Sedangkan penetapan kawasan konservasi dilakukan sebagai upaya perlindungan ekosistem atau spesies yang terancam kepunahan.
Dalam pengelolaan hutan produksi pemerintah telah menetapkan prinsip Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) baik skema mandatory maupun Voluntary. Seluruh pemegang izin pemanfaatan baik IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT wajib menerapkan pengelolaan berdasarkan PHPL. Apabila aspek lingkungan diukur dari prinsip dan kriteria PHPL maka hanya sedikit unit manajemen pengelolaan hutan produksi yang yang berkinerja baik. Berdasarkan tabel di bawah ini dapat dilihat bahwa untuk IUPHHK-HA maupun IUPHHK-HT yang telah memiliki sertifikat PHPL yang baik dan berlaku sampai dengan tahun 2013.

Tabel 12. Sertifikasi PHPL IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT
No IUPHHK Jumlah (Unit) Yang Memiliki Sertifikat PHPL Baik Berlaku (Unit) %
1 IUPHHK-HA 275 94 34,18%
2 IUPHHK-HT 254 46 18,11%
Sumber : Ditjen BUK, 2014

Kegiatan reboisasi lahan kritis telah dilaksanakan, berdasarkan Statistik Kehutanan 2011, pada tahun 2010 telah dilaksanakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan seluas 157.588 ha di dalam kawasan hutan dan seluas 966.924 di luar kawasan hutan. Kegiatan penghijauan adalah upaya yang dilakukan untuk merehabilitasi lahan kritis di luar kawasan hutan melalui kegiatan tanam menanam dan bangunan konservasi tanah. Kegiatan penghijauan antara lain pembangunan hutan/kebun rakyat, kebun bibit desa, pembangunan Dam pengendali, hutan rakyat dan lain-lain. Hutan rakyat selama periode 5 tahun terakhir sejak tahun 2006 s.d. tahun 2010, mencapai 660.798,80 ha.
Bencana lingkungan yang hampir terjadi setiap tahun di Indonesia adalah kebakaran hutan. Akibatnya terjadi kerusakan ekosistem yang sistematis dan luar biasa. Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milyar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi bencana ini masih bersifat penanganan belum pencegahan.

III. KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SDA

A. Peraturan Perundang-undangan
Pemanfaatan sumberdaya hutan di Indonesia sudah dimulai sejak jaman Belanda (VOC) yang menyadari tingginya nilai ekonomis kayu tropis di Eropa. Setelah VOC bubar pengelolaan hutan di pulau Jawa dilakukan pemerintah colonial Belanda yang memperkenalkan istilah Boswezen. Pengaturan selanjutnya didasarkan atas Bosordonantie untuk pemanfaatan hutan serta aturan lain untuk perlindungan binatang liar (Dierenbescherming ordonantie), perburuan binatang liar (Jachtordonantie java enmadoera) dan perlindungan alam liar (Natuur bescherming ordonantie).
Selanjutnya paska kemerdekaan sampai dengan masa orde baru kebijakan yang mengatur tentang kehutanan adalah Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Keluarnya undang-undang ini didasarkan pada kepentingan ekonomi yang tinggi untuk memperluas kekuasaan pemerintah yang bersifat sentralistik dalam menggerakan sumber-sumber perekonomian. Keluarnya undang-undang ini disertai dengan peraturan pelaksanaannya meliputi (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 Tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan (2) PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) (3) PP Nomor 33 Tahun 1977 tentang Perencanaan Hutan (4) PP Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah (5) PP Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan.
Pengelolaan kawasan konservasi dan konservasi jenis dilindungi sampai keluarnya UU No. 5 tahun 1967 mengacu pada UU peninggalan Belanda yaitu dierenbeschermin gordonantie (jachtordonantie java enmadoera, wildreservaat) dan natuur bescherming ordonantie (natuur monumenten dan natuur reservaat). Kemudian pada tahun 1990 pemerintah menerbitkan UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKH) yang secara umum mengatur mengenai pengelolaan kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam (diatur melalui PP No. 68/1998 yang diubah dengan PP No. 28/2011) serta perlindungan jenis (diatur melalui PP No. 7/1999).
Keluarnya paradigma otonomi daerah, berupa pembagian kewenangan pusat kepada daerah dalam bentuk desentralisasi mendorong terbitnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Keluarnya UU ini disertai dengan keluarnya peraturan pelaksanaan antara lain (1) PP No.34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (2) PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan (3) PP No.6 Tahun 1997 jo. PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. (3) PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dimana kehutanan termasuk dalam urusan pemerintahan yang dibagi antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan

B. Struktur Organisasi dan Tupoksinya
1. Organisasi dan Tata kerja Kementerian Kehutanan
Karena sifatnya yang penting dan menguasai hidup orang banyak maka hutan sesuai amanat Undang-undang hutan dikuasai oleh negara dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan :
a. mengatur, mengurus hutan kawasan hutan dan hasil hutan
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan
c. mengatur dan menetapkan hubungan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan perbuatan hukum mengenai Kehutanan.
Kewenangan pemerintah ini dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan, dengan dasar pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan. Berdasarkan pasal 2 peraturan dimaksud Kementerian Kehutanan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kehutanan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Kehutanan menyelenggarakan fungsi :
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kehutanan;
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya Kementerian Kehutanan;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kehutanan;
d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kehutanan di daerah;dan
e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional
Susunan organisasi Kementerian Kehutanan terdiri atas (1) Sekretariat Jenderal; (2) Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan; (3) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (3) Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (4) Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (5) Inspektorat Jenderal (6) Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan (7) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, dan (8) Staf Ahli Menteri.

Gambar 1. Struktur Organisasi Kementerian Kehutanan


Sekretariat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Kehutanan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
a. koordinasi kegiatan Kementerian Kehutanan;
b. koordinasi dan penyusunan rencana dan program Kementerian Kehutanan;
c. pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang meliputi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, kerumahtanggaan, arsip dan dokumentasi Kementerian Kehutanan;
d. pembinaan dan penyelenggaraan Organisasi dan tata laksana, kerja sama dan hubungan masyarakat
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perencanaan makro bidang kehutanan dan pemantapan kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang perencanaan makro kehutanan dan pemantapan kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan makro kehutanan dan pemantapan kawasan hutan sesuai peraturan perundang-undangan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perencanaan makro kehutanan dan pemantapan kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perencanaan makro kehutanan dan pemantapan kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai peraturan perundang-undangan;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan peraturan perundang-undangan;dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi teknis di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan perhutanan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan;dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial.
Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang bina usaha kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan di bidang bina usaha kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang bina usaha kehutanan sesuai peraturan perundang-undangan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang bina usaha kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi atas pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteriadi bidang bina usaha kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;dan
e. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Inspektorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Kehutanan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Inspektorat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
a. penyiapan perumusan kebijakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Kehutanan;
b. pelaksanaan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Kehutanan terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya;
c. pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan Menteri Kehutanan;
d. penyusunan laporan hasil pengawasan di lingkungan Kementerian Kehutanan;dan
e. pelaksanaan urusan administrasi Inspektorat Jenderal
Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan mempunyai tugas melaksanakan tugas di bidang penyuluhan dan pengembangan Sumber Daya manusia kehutanan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan kebijakan teknis, program, rencana, dan program di bidang penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia kehutanan;
b. pelaksanaan tugas di bidang penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia kehutanan sesuai peraturan perundang-undangan;
c. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan bimbingan teknis di bidang penyuluhan kehutanan;
d. pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas di bidang penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia kehutanan;dan
e. pelaksanaan administrasi Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan termasuk penyebarluasan hasil-hasil penelitian dan pengembangan kepada pengguna baik internal maupun eksternal Kementerian Kehutanan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program di bidang penelitian dan pengembangan kehutanan;
b. pelaksanaan tugas di bidang penelitian dan pengembangan kehutanan;
c. pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas di bidang penelitian dan pengembangan kehutanan;dan
d. pelaksanaan administrasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Staf Ahli adalah unsur pembantu Menteri di bidang keahlian tertentu, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Staf Ahli mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai masalah tertentu sesuai bidang keahliannya, yang tidak menjadi bidang tugas Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal, Badan dan Inspektorat Jenderal. Staf Ahli terdiri atas (1) Staf Ahli Menteri Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan (2) Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional (3) Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim (4) Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga (5) Staf Ahli Menteri Bidang Keamanan Hutan. Staf Ahli mempunyai tugas :
a. Staf Ahli Menteri Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan memberikan telaahan kepada Menteri Kehutanan berkaitan dengan penguatan struktur dan sumberdaya industri kehutanan;
b. Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional memberikan telaahan berkaitan dengan kontribusi sektor kehutanan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional dan kontribusi sektor kehutanan dalam perdagangan internasional yang berkaitan dengan konvensi internasional antara lain WTO, GATT dan AFTA;
c. Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim memberikan telaahan kepada Menteri Kehutanan berkaitan dengan isu lingkungan dan percepatan program pelaksanaan penurunan emisi gas rumah kaca bidang Kehutanan melalui upaya-upaya mitigasi, adaptasi dan alih teknologi;
d. Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga memberikan telaahan kepada Menteri Kehutanan berkaitan dengan upaya peningkatan hubungan kerjasama Kementerian Kehutanan dengan lembaga pemerintahan, swasta, organisasi nirlaba, masyarakat baik lokal maupun internasional, serta peningkatan upaya pemberdayaan masyarakat;dan
e. Staf Ahli Menteri Bidang Keamanan Hutan memberikan telaahan kepada Menteri Kehutanan berkaitan dengan upaya-upaya peningkatan pengamanan hutan dan hasil hutan.

2. Dekonsentrasi bidang Kehutanan
Berdasarkan PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, kehutanan termasuk dalam urusan pemerintahan yang dibagi antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan. Sesuai pasal 7 PP 38 Tahun 2007 urusan kehutanan menjadi Urusan pilihan yaitu urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Sebagai tindak lanjut dari PP 38 Tahun 2007 tersebut dan dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, terdapat beberapa urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah, selanjutnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.25/Menhut-II/2013 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2013 Kepada 33 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah.
Maksud penyelenggaraan dekonsentrasi adalah untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, dengan tujuannya untuk meningkatkan efektivitas peran dan posisi Gubernur selaku wakil pemerintah di dalam melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan.
Dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi Gubernur menetapkan satuan kerja perangkat daerah provinsi yang menangani urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagai pelaksana urusan pemerintahan bidang kehutanan yang dilimpahkan.

3. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan di tingkat tapak dilaksanakan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya disingkat KPH, yaitu wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
KPH sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP). KPH dapat ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dalam satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan. Dalam hal satu KPH terdiri dari lebih satu fungsi pokok hutan maka penetapannya dilakukan berdasarkan fungsi pokok hutan yang luasannya dominan. Penetapan luas wilayah KPH dilakukan Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan. Penetapan organisasi KPHK, KPHL dan KPHP ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan pemerintah provinsi (KPHP/KPHL lintas kabupaten/kota), usulan pemerintah kabupaten (KPHP/KPHL dalam satu kabupaten/kota). Penetapan organisasi KPH sejak tahun 2009 s/d 2013 oleh Meteri Kehutanan sebanyak 120 unit yang terdiri dari 40 unit KPHL dan 90 unit KPHP di 28 Provinsi seluruh Indonesia (Kemenhut, 2014).
Kegiatan tata hutan dilakukan pada setiap KPH di semua kawasan hutan, meliputi kegiatan (1) tata batas (2) inventarisasi hutan (3) pembagian kedalam zona atau blok (3) pembagian petak dan anak petak (5) pemetaan. Hasil kegiatan tata hutan berupa inventarisasi penataan hutan disusun dalam bentuk buku dan peta penataan KPH.
Hasil kegiatan tata hutan dimaksud dijadikan dasar penyusunan rencana pengelolaan hutan dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota dan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Menteri mengesahkan rencana pengelolaan hutan jangka panjang yang disusun oleh kepala KPH. Kepala KPH mengesahkan rencana pengelolaan hutan jangka pendek yang disusun oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala KPH.
Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi:
a. menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi :
1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
2. pemanfaatan hutan;
3. penggunaan kawasan hutan;
4. rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan
5. perlindungan hutan dan konservasi alam.
b. menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan;
c. melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian.


IV. ANALISIS KEBERLANJUTAN SDA HUTAN

A. Hipotesis Keberlanjutan SDA Hutan dalam Skenario Praktek Pengelolaan seperti Saat Ini
Yang menjadi landasan hukum pengelolaan sumberdaya hutan adalah Undang-Undang No 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang No 41 Tahun 1999. Lahirnya UU No 5 Tahun 1967 didasari oleh stabilisasi kondisi perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena jatuhnya perekonomian Indonesia di akhir masa Orde Lama. Paradigma pertumbuhan ekonomi yang melandasi dan mendominasi interpretasi UU No. 5 tahun 1967, membangun persepsi bahwa kawasan hutan produksi tidak memiliki fungsi ekosistem hutan lainnya, antara lain fungsi lindung dan fungsi suaka alam. Dari sisi perlindungan hutan baik pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1967 maupun UU No.41 Tahun 1999, konsepsinya belum diarahkan untuk menjamin terjaganya semua fungsi di masing-masing kawasan hutan. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut menimbulkan persepsi bahwa suatu kawasan hutan tidak harus memiliki fungsi hutan yang dapat berpotensi timbulnya permasalahan kelestarian hutan dan ekosistemnya.
Pasca reformasi terbitnya UU No 41 tahun 1999 istilah pengusahaan hutan yang memiliki substansi eksploitasi sumberdaya hutan dengan paradigma ekonomi diganti dengan istilah pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Namun paradigma ekonomi tetap dominan dalam pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, bahkan nilai-nilai ekonomi baru, yaitu jasa-jasa lingkungan yang telah memiliki nilai ekonomi baru dapat dimanfaatkan (Bappenas, 2014). Dengan timbulnya cara pandang seperti ini, hutan hanya dipandang sebagai komoditi (kayu, non kayu, jasa lingkungan, kawasan) yang harus diekspoitasi untuk kepentingan ekonomi.
Dominasi pemanfaatan hutan melalui praktek pemberian izin usaha pemanfaatan berbasis komoditi, menyebabkan arah pengelolaan hutan di tingkat tapak berjalan secara parsial. Ketiadaan operator lapangan yang yang melakukan pengelolaan hutan secara holistik menyebabkan maraknya kegiatan illegal baik pada kawasan hutan yang telah dibebani izin maupun dalam kawasan hutan yang open acces (“tidak bertuan”). Maraknya kegiatan illegal ini mendorong terjadinya konflik tenurial yang terjadi baik antar pemegang izin, pemegang izin dengan masyarakat, masyarakat dan pemerintah maupun pemerintah dan pemegang izin. Berdasarkan data Direktorat Bina Usaha Hutan Tanaman Tahun 2012, terjadi 103 kasus konflik pada 50 unit IUPHHK-HT. Kurang seriusnya penanganan konflik oleh Kementerian Kehutanan dapat dilihat dari kurangnya kasus konflik sosial yang tertangani sampai dengan selesai. Konflik tenurial adalah muara dari pertentangan antara konsep dan realitas. Persoalan tenurial yang selama hanya dianggap “potensi konflik yang bersifat laten”, sehingga penanganan sering tidak tuntas (Untung & Agung, 2004).
Kinerja pembangunan kehutanan rendah Indonesia dikerucutkan dalam suatu pernyataan “Indonesia mempunyai potensi sumberdaya hutan yang luar biasa besar tetapi telah gagal mengkapitalisasinya menjadi kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan” (Bappenas, 2013). Akar penyebab kegagalan tersebut adalah buruknya tata kelola dan tata kuasa kehutanan Indonesia.
Dengan skenario pengelolaan seperti saat ini maka hasil akhir dari pengelolaan hutan seperti ini adalah Pengelolaan Hutan tidak lestari yang berakibat semakin terpuruknya ekonomi kehutanan dan fungsi sosial dan jasa ekosistem hutan turun.
Akar permasalahan pembangunan kehutanan menurut Bappenas (2013) adalah sebagai berikut :
1. Paradigma pembangunan kehutanan yang tidak berbasis ekosistem, melainkan berbasis komoditi (kayu, non kayu, jasa lingkungan, kawasan) melalui instrumen perizinan pemanfaatan komoditi; satu komoditi satu izin dan izin pemanfaatan komoditi tersebut juga dipisah-pisahkan menurut fungsi hutan.
2. Paradigma pembangunan kehutanan tidak berlandaskan keadilan dalam konteks keberpihakan pada pelaku usaha akibat bias pemahaman skala usaha yang diidentikkan dengan pelakunya, sehingga skala kecil disamakan dengan pengelolaan oleh masyarakat yang cenderung hanya untuk subsisten.
3. Paradigma command and control yang sangat kaku. Akibat dari paradigm ini adalah penggunaan instrumen perizinan sebagai andalan utama bagi pengelolaan sumberdaya hutan; sementara itu, instrumen dalam bentuk insentif dan disinsentif sangat kurang berkembang.
4. Kawasan hutan masih belum memiliki kepastian untuk mendukung penguatan pencapaian kinerja pembangunan, bahkan setelah Keputusan MK No 45/PUU-IX/2011 dan MK N0 35/PUU-IX/2012, penafsiran tentang kawasan hutan membutuhkan penafsiran baru untuk menguatkan legitimisasinya.
5. Peraturan pada level Peraturan Menteri sering berubah sehingga menimbulkan ketidakpastian, baik hukum maupun usaha.
6. Regulasi yang berlebihan dan kurang tepat sehingga menyulitkan dunia usaha untuk melakukan inovasi dan terobosan.
7. Ketiadaan pengelola hutan yang efektif di lapangan, sehingga menyebabkan sekitar 22,8 juta ha kawasan hutan produksi dan 28,8 juta ha kawasan hutan lindung seolah “tidak bertuan”.
8. Organisasi kehutanan tidak efektif, dicirikan oleh pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah yang belum membagi habis pengurusan hutan dan terkonsentrasinya pelaksanaan kewenangan pengurusan kehutanan pada pemerintah pusat.
9. Pasar kayu bulat yang sangat terdistorsi sehingga harganya terlalu rendah. Beberapa faktor yang berperan dalam mendistorsi pasar kayu bulat adalah integrasi vertikal, struktur industri yang tidak kompetitif, dan kebijakan larangan ekspor kayu bulat, termasuk kayu bulat dari hutan tanaman.
10. Riap yang terlalu rendah, khususnya untuk hutan alam. Secara umum, laju pertumbuhan hutan alam adalah sangat rendah, sehingga kurang menarik untuk dipilih sebagai wahana investasi pengelolaan hutan lestari.
11. Property rights yang tidak terdefinisi dengan baik. Pemberian konsesi atau izin pemanfaatan kayu di hutan alam tidak menghasilkan “property rights ” yang terdefinisi dengan baik, dicirikan oleh beberapa unsur seperti dapat dipindahtangankan, dapat ditegakkan dan eksklusif.
12. Lemahnya sinergi perencanaan sektor-sektor berbasis lahan (kehutanan, perkebunan, pertambangan) dan penataan ruang dalam konteks pembangunan berkelanjutan, sehingga tidak menjamin terwujudnya kawasan hutan tetap sebagai basis penegakan hukum.
13. Lemahnya sinkronisasi kebijakan kehutanan, perindustrian, dan perdagangan dalam mengembangkan iklim usaha yang menarik dan meningkatkan nilai tambah.
14. Rendahnya kapasitas pengelolaan kawasan konservasi dan pelestarian keanekaragaman hayati. Hingga saat ini pengelolaan kawasan konservasi yang cukup intensif baru dilakukan untuk kawasan taman nasional. Kawasan konservasi lain dan hutan lindung belum dikelola secara memadai. Demikian juga, konservasi berbagai jenis dilindungi dan/atau terancam punah masih sangat lemah.

B. Hipotesis Keberlanjutan SDA dengan Inovasi Sistem Pengelolaan
Menurut Bambang (2014) pengelolaan hutan produksi saat ini disebut sebagai rezim perizinan karena masih dikelola oleh pemegang izin IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan IUPHHK-RE berupa izin pemanfaatan, kemudian dari sisi kelembagaan belum semua ada operator pengelola (pemegang izin) di tingkat tapak, pemanfaatan sumberdaya alam berupa izin usaha pemanfaatan diberikan hanya untuk satu jenis komoditi hasil hutan (single comodity) dan sistem pengawasan masih dilakukan terpusat oleh Pusat.
Untuk menjamin keberlangsungan sumberdaya hutan yang memiliki kecenderungan terus menurun, maka perlu dilakukan perubahan paradigm pengelolaan hutan yang selama ini disebut “rezim perizinan” menjadi “rezim pengelolaan” dengan penguatan kelembagaan KPH sebagai operator lapangan, kemudian peranan pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten) berlaku dalam pengurusan hutan (forest administration) dan perencanaan hutan (forest planning).
Kondisi yang diinginkan dalam dalam pembangunan kehutanan masa mendatang adalah :
1. Kawasan Hutan Dalam 20-25 Tahun Yang Akan Datang
a. Kawasan hutan terbagi habis dalam KPH
b. Pengukuhan untuk kepastian Kawasan hutan
c. Hutan konservasi dipertahankan, hak –hak pihak ketiga dan konflik selesai
d. HL dan HP dipertahankan, perubahan tdk lebih dari 20%
e. Perubahan peruntukan penggunaan KH sinergis dg sektor di luar kehutanan
2. Pengelolaan hutan terkait dengan kinerja organisasi pada aspek ekonomi, lingkungan, konservasi dan sosial
a. Kawasan hutan terbagi dalam 600 KPH
b. Kawasan hutan dikelola berbasisi ekosistem dan manfaat ganda
c. UM HA dan HT semua bersertifikat PHPL
d. Deforestasi dan degradasi 0% pada HP, HL dan HK
e. Tidak ada kebakaran hutan dan lahan
f. Fungsi ekologis pada bentang alam pulih
3. Peningkatan produktivitas hutan alam dan hutan tanaman
a. Penerapan multisystem silvikultur
b. Penerapan Silvikultur Intensif
c. Meningkatnya produktifitas HT mejadi 362,5 jt m3 / tahun dalam 10 tahun
d. Produksi HHBKmeningkat 10 kali dalam 10 tahun
4. Kinerja industry kayu dan non kayu,
a. Memberi nilai tambah tinggi
b. Ramah lingkungan
c. Efesien
d. Menyerap banyak tenaga kerja
5. Ekonomi kehutanan
a. investasi pengelolaan atau pembangunan HA dan HT mencapai Rp 1.590,25 triliun, swasta Rp (98,2%), dan Rp 27,85 triliun (1,8%)Pengukuhan untuk kepastian Kawasan hutan
b. Penyerapan tenaga kerja 9,3 jt m3/thn
c. Manfaat ekonomi produksi kehutanan menghasilkan nilai PDRB seluruh Indonesia sebesar Rp 56,59 triliun/ tahun
Strategi perubahan yang harus dilakukan dari rezim perizinan menuju rezim pengelolaan oleh KPH adalah :
1. Deregulasi, berupa revisi terhadap peraturan/kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan KPH
2. Debirokratisasi, berupa upaya pendekatan pelayanan kepada masyarakat dunia usaha di tingkat tapak. Memberikan kewenangan pengelolaan lebih luas kepada KKPH.
3. Reorganisasi, berupa penyesusaian kewenangan dan peran organisasi Kementerian Kehutanan, Dishut Provinsi, Dishut Kabupaten/Kota.
Dengan perubahan paradigma pengelolaan hutan berbasis KPH, diharapkan hutan dapat berperan sebagai penunjang kemandirian bangsa dimana seluruh kawasan hutan seluas 125 juta hektar memiliki pengelola KPH dengan target 600 KPH terdiri dari 40 unit KPHK, 217 unit KPHL dan 347 unit KPHP. Dengan perubahann paradigma ini diharapkan hutan dapat berperan sebagai penunjang kemandirian bangsa melalui KPHP, antara lain KPHK menunjang kemandiri energy melalui penyediaan energy Geotermal sebesar 28.000 MW. KPHP sebagai penunjang kemandirian (1) Mandiri papan, melalui penyedian kayu bulat dari hutan alam sebesar 14 juta m3/tahun dan hutan tanaman sebesar 362 juta m3/tahun (3) Kemandirian Pulp/Kertas melaui penyediaan pulp sebesar 45 juta ton / tahun (4) Kemandirian papan melalui peran hutan tanaman dengan pola tumpang sari menyediakan produksi padi 12 ton / thn / ha (5) Kemandirian energy, melalui hutan tanaman sebagai sumber bio energy (wood pellet dan bio diesel).
Upaya meningkatkan nilai tambah produk hasil hutan harus dilakukan melalui perbaikan sektor hulu dan hilir. Perbaikan sektor hulu dapat dilakukan melalui :
• Perbaikan Tata Kelola (menyederhanakan birokrasi dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat oleh Kepala KPH)
• Peningkatan Produktifitas Hutan (Penerapan Silvikultur Intensif, Multisistem Silvikultur, Penggunaan Bibit Genetik Unggul
• Kontinuitas Hasil Hutan (Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari/PHPL)
• Diversifikasi Usaha Hasil Hutan (Kayu, Non Kayu, Jasa Lingkungan, Pariwisata, Bio Energi, Penyimpanan dan Penyerapan Karbon)
• Efisiensi Biaya Pemanenan Hasil Hutan
• Mengembangkan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
• Usaha Multi Produk (Kayu, Pangan, Energi, Daging
Perbaikan sektor hilir melalui :
• Penerapan Sertifikasi Legalitas Kayu (VLK)
• Restrukturisasi Mesin-Mesin Industri
• Diversifikasi Produk Industri Hasil Hutan selain Kayu (Bio Energi, Bio Ethanol, Wood Pellet, Karbon)
• Efisiensi Pengolahan Bahan Baku (Peningkatan Rendemen)
• Mendekatkan Industri dengan Sumber bahan Baku (Cluster Industr Hasil Hutan)
• Memperluas Strategi Pemasaran Hasil Hutan
• Penyederhanaan Rantai Tata Usaha Hasil Hutan




DAFTAR BACAAN

1. Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam ‘Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan’, Hariadi Kartodiharjo. Wana Aksara, 2008.
2. Final Report Backround Study RPJM Kehutanan 2015-2019, JICA Bappenas, 2014
3. Hasil Bedah Kinerja IUPHHK-HTI 2013-2014, Ditjen BUK Kemenhut, 2014
4. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan, dan REDD+ 2012 di Indonesia. UNDP. 2012
5. Kemandirian Energi dan Pangan dari Hutan Tanaman, Bambang Hendroyono. 2014.
6. Penghitungan Degradasi Hutan Indonesia 2006-2009, Ditjen Planologi Kehutanan 2010.
7. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;
8. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;
9. Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan ‘Issue dan Agenda Mendesak’, Untung Iskandar dan Agung Nugraha. Wana Aksara 2004.
10. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009, FWI. 2011
11. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia 2011, Ditjen Planologi Kehutanan 2011
12. Statistik Kehutanan 2013, Kementerian Kehutanan 2013
13. Statistik Kawasan Hutan 2013. Kementerian Kehutanan 2014
14. Statistik Ditjen Bina Usaha Kehutanan 2013. Ditjen BUK. 2013.
15. Undang-Undang No. 41 Tahun 1990 tentang Kehutanan;

Posted by Nukil On 00.07 1 comment READ FULL POST

Kamis, 20 November 2014

Surat Edaran Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan Nomor : SE.10/VI-BUHT/2014 tentang Pencegahan Kebakaran Hutan

download
Posted by Nukil On 20.29 No comments READ FULL POST
Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala BPN Nomor : 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada Didalam Kawasan Hutan

download
Posted by Nukil On 17.59 No comments READ FULL POST

Rabu, 19 November 2014

Kebun Benih Eucalyptus pellita



Posted by Nukil On 00.15 No comments READ FULL POST

Selasa, 28 Oktober 2014

FINAL REPORT BACKROUND STUDY RPJM KEHUTANAN 2015-2019

Kerjasama JICA dan Bappenas Maret 2014

Download
1. Ringkasan Eksekutif
2. Full Report
Posted by Nukil On 16.52 No comments READ FULL POST
Road Map Pembangunan Industri Kehutanan Berbasis Hutan Tanaman

Download
Posted by Nukil On 16.48 1 comment READ FULL POST

Rabu, 22 Oktober 2014

Statistik Kawasan Hutan Indonesia 2013 / Forest Area Statistics Indonesia

sumber : Kementerian Kehutanan RI 2014 www.dephut.go.id
Posted by Nukil On 01.07 No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

    Blogger news

    Blogroll

    About