Jumat, 09 Mei 2014


Forest Asia Summit adalah sebuah forum dimana Menteri dari seluruh Asia Tenggara bergabung bersama para CEO , pemimpin masyarakat sipil , ahli pembangunan dan ilmuwan top dunia , untuk berbagi pengetahuan tentang bagaimana mempercepat pergeseran situasi regional ke arah green economy dengan pengelolaan hutan dan lanskap yang lebih baik.

Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang paling dinamis di dunia. Pertumbuhan ekonominya semakin berkembang pesat dipimpin oleh kelas menengah tetapi menghadapi tantangan besar kebijakan yaitu ketidaksetaraan, kepemilikan lahan yang tidak pasti, penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, hilangnya keanekaragaman hayati, kerawanan pangan dan perubahan iklim. Terhadap latar belakang ini , beberapa negara Asia Tenggara yang mengadopsi pendekatan hijau - pertumbuhan , secara sukarela menetapkan target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk mengelola secara berkelanjutan hutan dan lanskap mereka . Demikian pula, para pebisnis terkemuka yang memiliki komitmen sendiri untuk penggunaan lahan berkelanjutan dan praktek investasi.

Pertemuan ini merupakan hasil kerjasama Center for International Forestry Research (CIFOR) dengan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dan merupakan yang terbesar di Asia dalam beberapa tahun terakhir serta telah menarik lebih dari 1000 stakholder terkemuka dari Asia Tenggara dan seluruh dunia.

Pada tahun 2014 penyelenggaraan Forest Asia Summit 2014 diselenggarakan di Hotel Shangri-La, Jakarta, dari tanggal 5-6 Mei 2014. Pertemuan puncak Forests Asia, Jakarta, dihadiri oleh Presiden RI dan jajaran menteri Asia Tenggara.

Menurut SBY konferensi bertema Lanskap Berkelanjutan untuk Pembangunan Hijau di Asia Tenggara ini sangat penting terkait kesiapan penduduk bumi secara bahu membahu mewujudkan tujuan mulia, yaitu menyelamatkan hutan tropis di negeri ini.
“Motivasi kita semua menunjukkan bahwa kita memiliki pandangan yang sama, dedikasi yang sama untuk menjaga sumber daya alam kita dan lingkungan hidup kita," kata Presiden SBY di hadapan dua ribu peserta konferensi, Senin (05/05).

Presiden SBY juga menyampaikan bahwa saat ini semakin banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang mengadopsi praktik-praktik pembangunan dan investasi hijau berkelanjutan. Menurut SBY, kebijakan pro lingkungan semakin nyata dalam perencanaan strategi pembangunan, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta.

“Saya senang bahwa gagasan 'pembangunan hijau berkelanjutan dan berkeadilan' telah tercermin dalam dokumen hasil akhir dari Panel Tingkat Tinggi mengenai agenda pembangunan pasca 2015. Saya berharap, setelah adanya laporan Majelis Umum PBB, ide ini akan menjadi bagian dari kebijakan pembangunan negara-negara anggota PBB,” kata Presiden SBY.
Selain itu, melalui pembahasan pasca Protokol Kyoto yang akan dimulai tahun depan, Presiden SBY juga berharap nilai dan kontribusi lanskap hutan sebenarnya, nilai-nilai ekonomi, sosial dan lingkungan dapat diketahui. “Dalam hal ini, Indonesia dan negara-negara Asia lainnya harus memastikan bahwa negosiasi iklim mendatang di Lima, Peru memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini,” kata Presiden SBY.

Sumber :
http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/1720
http://www.setkab.go.id/berita-12906-pagi-ini-presiden-buka-forest-asia-summit-2014.html
http://redd-indonesia.org/media/arsip-fokus-redd/1193-forest-asia-summit-2014-live-streaming-video
http://www.cifor.org/forestsasia/
foto : forda-mof.org


Posted by Nukil On 01.33 1 comment READ FULL POST

Jumat, 02 Mei 2014

FORDA (Bogor, 23/04/2014)_Realita energi nasional kita saat ini mengalami penurunan cadangan minyak bumi. Hal tersebut tidak bisa dihindari seiring pemakaian yang terus menerus dan lama kelamaan bisa habis. Di sisi lain, konsumsi bahan bakar tidak bisa ditekan karena peningkatan kebutuhan energi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi, yang 10 tahun terakhir naik sekitar 7%/tahun.

“Ini sungguh suatu realita yang harus kita sikapi bersama sehingga adanya suatu energi alternatif terbarukan menjadi keharusan yang harus kita dorong perkembangannya,” kata Wening Sri Wulandari, S.Hut, M.Si, dalam paparannya pada Diskusi Ilmiah yang membahas tentang Penelitian Integratif Biomassa sebagai Bioenergi di kampus Litbang Kehutanan, Bogor, Selasa (22/04).

Menyadari bahwa energi fosil akan semakin berkurang, lanjut Wening, pemerintah sebenarnya telah membuat kebijakan yang disebut bauran energi primer: pada 2025 ditetapkan 15% energi berasal dari sumber energi baru dan terbarukan yang terdiri dari geothermal, biofuel dan biomassa. Bahkan, Kementerian ESDM juga telah menetapkan Roadmap Pengembangan Biofuel sampai 2025, namun kebijakan dan roadmap tersebut belum bisa berjalan sebagaimana mestinya dan mencapai targetnya karena masih banyak kendala.

Hal ini menjadi tantangan besar bagi Kementerian Kehutanan, karena menurut Wening, sektor kehutanan punya pengaruh besar dalam hal menggali dan menciptakan energi baru dan terbarukan. Sektor kehutanan yang mengelola 60% luas daratan Indonesia sangat potensial sebagai penyuplai bioenergi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.

“Luasnya kawasan hutan merupakan sumber bahan baku terlebih didukung oleh iklim tropis yang membuat tanaman cepat tumbuh. Sektor kehutanan juga mempunyai kekayaan biodiversitas penghasil bahan baku energi: buah atau biji, pati, kayu bernilai kalor tinggi,” jelas Wening.

Bahkan dengan dukungan upaya rehabilitasi lahan kritis melalui pembangunan hutan tanaman yang dilakukan Kemenhut, potensi tersebut akan menjadi salah satu upaya dalam penciptaan lapangan kerja selain berperan dalam penyerapan karbon dan pengurangan emisi.

Menyadari potensi yang ada, Badan Litbang Kehutanan, selaku lembaga riset kehutanan mulai menyusun rancangan umum pengembangan bioenergi berbasis kehutanan, sebuah inisiasi Pusat Litbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) yang telah dimulai sejak 2012 lalu. Nantinya, rancangan umum ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh pihak-pihak terkait untuk menghasilkan kesatuan langkah karena menurut Wening, kendala dalam pengembangan bioenergi saat ini adalah masih sporadis, belum sistematis, dan belum terintegrasinya kegiatan yang dilakukan oleh sektor terkait.

“Masing-masing sektor terkait masih bergerak sendiri-sendiri dan belum ada harmonisasi sehingga langkah-langkah yang diambil belum sistematis dan terencana,” kata Wening di hadapan lebih dari 100 peserta diskusi yang terdiri dari peneliti, widyaiswara dan penyuluh kehutanan.

Dalam rancangan umum yang dibahas pada diskusi tersebut, Wening menyampaikan apa yang harus dibangun sebagai upaya menjadikan sektor kehutanan sebagai pemasok energi yang cukup signifikan, antara lain teknologi, kontinuitas bahan baku, kepastian pasar/industri untuk kelangsungan usaha, infrastruktur pendukung, dukungan kebijakan (insentif dan subsidi), dan sosialisasi kepada masyarakat.

Mendukung penyusunan rancangan umum tersebut, tiga peneliti memaparkan bagaimana potensi, pasar dan review status litbang biomassa/bioenerginya sampai saat ini. Diskusi yang dimoderatori oleh Dr.Ir. Maman Turjaman, DEA, Peneliti Mikrobiologi pada Pusat Litbang Konservasi dan rehabilitasi ini berjalan dengan hangat, banyak masukan dalam proses penyempurnaan rancangan umum tersebut yang nantinya akan ditindaklanjuti ke Puslitbang terkait.

Di akhir diskusi tersebut, Sekretaris Badan Litbang Kehutanan mengingatkan kembali RPJMN 2015-2019: peningkatan daya saing produk kehutanan yang tidak lagi komparatif melainkan kompetitif berdasarkan SDA, SDM dan Iptek.

“Apa ini yang harus kita dorong, keunggulan kompetitif bisa kita bangun melalui SDM dan Iptek. Ini mohon menjadi perhatian terkait apa yang harus direkomendasikan litbang. Litbang harus mulai berfikir kondisi atau target-target yang harus dicapai Kementerian Kehutanan pasca 2020,” tegas Tri Joko yang akan menindaklanjuti acara ini dengan mengundang asosiasi atau pelaku usaha yang berpeluang memanfaatkan iptek yang sudah dikuasai oleh Litbang Kehutanan.***



Peran Sektor Kehutanan dalam Pengembangan Energi Berbasis Biomassa

Menurut Ir. Sofwan Bustomi, M.Si, salah satu presenter pada diskusi tersebut, kayu energi belum mendapat prioritas karena pemerintah masih fokus pada kayu pertukangan dan kayu pulp. Padahal pemanfaatan biomassa dalam bentuk utuh atau bentuk limbah memiliki banyak manfaat, baik dari konversi kimia maupun limbahnya sampai pada soil improv.

Lebih lanjut Sofwan mengatakan bahwa peran sektor kehutanan dapat dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan lahan kritis dengan pembangunan HTI kayu energi khusus seperti yang ada di Kalimantan Timur, Gorontalo dan NTB. Menurut informasi, HTI tersebut dibangun untuk pellet plan, pembangunan industri pellet.



Status Litbang Bioenergi di Badan Litbang Kehutanan Saat Ini

Dari paparannya 28 Tahun Bersama Biomassa/Bioenergi, Prof. Riset. Gustan Pari, M.Si, Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) mereview litbang yang pernah dilakukan terkait bioenergi, antara lain kerjasama liquid fermentation ATA 251 skala pengembangan; DRANCO (Dry Anaerobic Composting) sampai skala 2 ton/hari; gasifikasi ATA 251 skala semi pilot dengan bahan baku serpih untuk menghasilkan listrik; kerjasama dengan Italy tentang gasifikasi ATA 312; fluidized bed gasifikasi dengan bahan baku serpih kayu; dan down draft gasifikasi dengan ITB berbahan baku arang; dan tungku bata dengan serbuk gergaji.

Sementara bioetanol skala lab. dan teknologi nano partikel masih terus diteliti dan dikembangkan. Selain itu, melalui proses sertifikasi, Pustekolah tahun ini sudah mulai inisiasi percobaan pendahuluan biomethanol, salah satu sumber energi terbarukan yang sangat potensial di bidang kehutanan.

Terkait pellet kayu hasil Litbang, Gustan mengatakan sudah ada SNInya, yaitu pellet proses basah dan kering. Beberapa hasil litbang terkait bioenergi juga sudah diterapkan di masyarakat, seperti tungku sederhana dan briket arang komersial.

“Di Cibaliung, kita menerapkan tungku sederhana, inisiasi saat harga minyak tanah naik ke Rp. 3.000, 500 tungku disebar ke masyarakat. Selain itu, briket arang komersial skala lab. manual dan ditempatkan di Kadipaten. Kita juga menginisiasi pusat pelatihan arang terpadu di Kadipaten bersinergi dengan widyaiswara,” jelas Gustan.

Status terkini, Gustan mengatakan bahwa saat ini Kementerian Kehutanan melalui Badan Litbang Kehutanan dilibatkan pada konsorsium mobil listrik nasional untuk menciptakan komponen baterai lithium bersama 11 instansi lainnya. Setelah dua tahun melaksanakan penelitian tersebut nantinya langsung ke jaringan industri pada skala pengembangan dengan 3 komponen, 4 blok, yaitu bahan kimia, bahan aktif, komponen sel dan baterai modul.

“Yang ditugaskan pada kita adalah bentuk atom karbonnya sterikal bukan fiber, ini PR (pekerjaan rumah-red) paling tinggi. Ukuran pori juga nano pori,” jelas Gustan yang berharap dukungan untuk pengembangan lebih besar dari penelitian, terlebih saat ini Bappenas mulai mempush ke arah pengembangan.



Prospek Ekonomi Wood Pellet, Bisnis Energi Terbarukan

Menurut Ir. Rachman Effendi, M.Sc, wood pellet merupakan bioenergi, bahan bakar ramah lingkungan dengan emisi karbon 0%, yang telah diakui oleh UN (United Nations); dapat digunakan di pembangkit listrik untuk mengurangi emisi gas CO2; merupakan sumber energi dengan biaya yang relatif tinggi, tetapi ramah lingkungan yang dapat dimanfaatkan secara kontinue untuk generasi masa depan.

Dengan adanya industri wood pellet, dampak sosial dan ekonomi cukup banyak, secara luas akan terjadi peningkatan aktivitas perekonomian. Dengan adanya HTI untuk wood pellet, akan ada pabrik, pembangunan power plan, supply listrik, pembangunan infrastruktur dan lapangan kerja. Selain itu, prospek pasar global wood pellet diproyeksikan akan tumbuh sebesar 200 sd 300% pada 2012-2020.***


Sumber : http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/1709

Posted by Nukil On 00.08 No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

    Blogger news

    Blogroll

    About