Selasa, 03 Februari 2015

Niat baik pemerintah melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) atau lebih dikenal HTI tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas kawasan Hutan Produksi (HP), menyediakan bahan baku industri kehutanan, menyediakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Namun seringkali yang terjadi justru penolakan dari masyarakat, yang sebagian bahkan telah ada/menghuni kawasan tersebut sebelum izin HTI terbit. Proses pemberian perizinan yang tidak transparan, tidak dilibatkannya masyarakat sekitar dalam proses pemberian izin HTI, pengalaman-pengalaman buruk yang dialami masyarakat yang berada sekitar HTI menjadi salah satu faktor ramainya penolakan-penolakan HTI oleh masyarakat saat ini.
Salah satu kasus yang mencuat tahun 2014 di Provinsi Riau adalah penolakan masyarakat 10 desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur atas kehadiran HTI PT. Lestari Unggul Makmur (LUM) di wilayah mereka. Penolakan HTI di Kabupaten Kepulauan Meranti yang juga menjadi headline nasional sebelumnya adalah penolakan HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper oleh masyarakat Pulau Padang dari tahun 2010-2014, dimana perkembangan terakhir adalah dikeluarkannya sebagian areal kerja (enclave) PT. RAPP, namun sampai dengan saat ini sebagian masyarakat masih tetap menuntut dicabutnya izin HTI PT. RAPP
PT. LUM adalah pemegang konsesi HTI berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. SK.217/Menhut-II/2007 yang terletak di Pulau Tebing Tinggi Kabupaten Kepulauan Meranti pada koordinat 102049’34”-103001’04” BT dan 00057’08”-00045’48” LU dengan luas areal mencapai ±10.390 hektar, menurut administrasi pemerintahan berada di Kecamatan Tebing Tinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Berdasarkan Rencana Kerja Usaha Tahun 2008-2017 (Revisi ke-2) PT. LUM telah memiliki rencana penataan ruang yang terdiri dari Kawasan Lindung 1.617 ha (15,56%), Sarana Prasarana 191 ha (1,84%), Tanaman Pokok (Sagu dan Akasia) 3.000 ha (28,87%), Tanaman Unggulan (jenis unggulan lokal misalnya Jabon, Mahang) 1.039 ha (10%) dan Tanaman Kehidupan (Sagu) 2.815 ha (27,09%). Namun karena adanya penolakan dari masyarakat belum ada realisasi kegiatan penanaman dan PT. LUM berhenti beroperasi sejak 2012.
Tuntutan masyarakat Kecamatan Tebing Tinggi Timur adalah pencabutan izin HTI PT. LUM karena dianggap sebagai penyebab terjadinya kekeringan lahan gambut yang menjadi sumber kebakaran lahan dan hutan sebagai akibat kanal yang dibuat perusahaan, menurunnya kualitas sagu masyarakat dan tidak akan membawa manfaat bagi masyarakat setempat.
Sungai Tohor menjadi headline berita nasional pasca “blusukan asap” Presiden Jokowi ke Sungai Tohor tanggal 27 November 2014, dimana pada saat itu menurut masyarakat Jokowi “menjanjikan” pencabutan izin HTI PT. LUM. Keinginan masyarakat Kecamatan Tebing Tinggi Timur yang menuntut pemerintah untuk mencabut izin HTI PT. LUM nampaknya akan menjadi perjuangan panjang jika tidak bisa dikatakan mustahil, karena :
1. Berdasarkan PP 6 Tahun 2007 jo PP 3 Tahun 2008 suatu izin HTI dapat dikenakan sanksi administrasi pencabutan izin apabila melanggar ketentuan pada Pasal 20 (memindahtangankan izin tanpa izin), Pasal 71 huruf b angka 3 (melaksanakan kegiatan nyata dilapangan paling lambat 1 tahun sejak diberikan izin), Pasal 71 huruf g (melaksanakan sistem silvikultur sesuai kondisi setempat), Pasal 75 ayat (1) huruf a dan b (menyusun Rencana Kerja), huruf e (melaksanakan penatausahaan hasil hutan), Pasal 75 ayat (5) huruf b (melaksanakan kegiatan nyata di lapangan), sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atau dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri.
2. PP 6 Tahun 2007 jo PP 3 Tahun 2008 tidak mengatur ketentuan mengenai pembatalan izin HTI, yang adalah berdasarkan mekanisme penyerahan kembali berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf c izin pemanfaatan hutan hapus apabila diserahkan kembali oleh pemegang izin sebelum jangka waktu izin berakhir. Hal ini bisa dilakukan jika pemegang izin berinisiatif sendiri menyerahkan izinnya.
Pemerintah juga tidak bisa serta merta mencabut suatu izin HTI tanpa dasar hukum yang jelas karena mengandung konsekuensi hukum timbulnya gugatan hukum ke PTUN oleh pemegang izin HTI. Pilihan alternatif / solusi penyelesaian tuntutan masyarakat Tebing Tinggi Timur secara cepat dengan posisi menguntungkan keduabelah pihak (win-win solution) adalah :
1. Dilakukannya enclave terhadap areal klaim masyarakat (kebun, ladang, pemukiman) dari dalam areal HTI PT. LUM yang telah ada sejak sebelum izin HTI terbit. Kemudian setelah di-enclave dapat dilakukan pengelolaan oleh masyarakat melalui mekanisme Hutan Tanaman Rakyat (HTR) maupun Hutan Desa (HD) karena berada dalam kawasan Hutan Produksi (HP). Meskipun sebagian areal HTI telah dikeluarkan melalui enclave hal ini tidak menghilangkan kewajiban HTI untuk menyediakan tanaman kehidupan bagi masyarakat sebesar minimal 10% dari luas areal izinnya.
2. Melalui kerjasama kemitraan antara pemegang HTI dan masyarakat dengan difasilitasi pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan berdasarkan prinsip kesepakatan, kesetaraan, saling menguntungkan, kepercayaan, transparansi dan partisipasi.
Apabila permasalahan ini dibiarkan tetap berlarut-larut yang dirugikan adalah semua pihak, bagi pihak perusahaan tidak dapat beroperasi , masyarakat tidak bisa melakukan aktifitas dengan tenang dan areal yang secara de facto berada pada kondisi status quo akan membuat lahan gambut yang tidak dikelola dengan benar sehingga meningkatkan resiko terjadinya kebakaran.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam waktu dekat adalah :
1. Membentuk Tim Mediasi untuk memediasi tuntutan masyarakat melalui mediator independen yang disetujui pihak masyarakat, pemerintah dan pihak perusahaan.
2. Perbaikan manajemen tata kelola gambut pada parit-parit (kanal kecil) yang dibuat oleh masyarakat antara lain melalui pembuatan pintu sekat kanal secara terintegrasi dengan kanal yang telah dibuat oleh PT. LUM.
3. Menghindari praktek politisasi konflik untuk kepentingan sesaat mengingat saat ini adalah masa-masa menjelang diadakannya ajang Pilkada langsung Bupati Kepulauan Meranti.
Mengingat posisi strategis Pulau Tebing Tinggi dan cadangan potensi gambut yang dimilikinya, kedepannya terlepas dari apapun kebijakan yang akan diambil pemerintah, yang terpenting adalah bagaimana menyelamatkan tata kelola gambut di Pulau Tebing Tinggi melalui pengelolaan lahan gambut dalam satu kesatuan hidrologis (ecohydro water management) secara terpadu tidak terbatas hanya pada areal pemegang konsesi HTI maupun HPH Sagu.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah pengelolaan kawasan Hutan Produksi di Pulau Tebing Tinggi melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Tebing Tinggi sebagai unit operasional manajemen pengelolaan hutan produksi di tingkat tapak dengan mengedepankan pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan Hutan Produksi secara lestari.

Opini ditulis oleh : Maman Permana (Mahasiswa Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB)

Referensi :
http://www.goriau.com/berita/peristiwa/pt-lum-gagal-bujuk-masyarakat-tebingtinggi-timur.html
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/27/078624793/Kembali-Blusukan-Jokowi-Datangi-Sumber-Asap-Riau
Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 jo. No. 3 Tahun 2008 tentang tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan
Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) Hutan Tanaman 10 Tahun IUPHHK-HT PT. Lestari Unggul Makmur

Posted by Nukil On 21.21 No comments READ FULL POST

Rabu, 14 Januari 2015

Surat Keputusan Dirjen PHKA Pedoman Pelaporan Pengendalian Kebakaran Hutan No. P.24/IV-SET/2014

Download
Posted by Nukil On 19.14 No comments READ FULL POST

Senin, 05 Januari 2015

Dalam rangka menyelesaikan berbagai upaya penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut yang tengah berlangsung untuk penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, telah diterbitkan Instruksi Presiden RI No. 6 Tahun 2013 tanggal 13 Mei 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut sebagai kelanjutan dari Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011.
Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) telah dilakukan revisi Keenam sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 3706/Menhut-VII/IPSDH/2014 tanggal 13 Mei 2014.
PIPIB direvisi setiap 6 bulan sekali berdasarkan hasil pembahasan Tim Teknis Gabungan Pembuatan PIPPIB yang beranggotakan Kemenhut, Kementan, Kemendagri, BPN, BIG dan UKP-PPP.
Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden RI No. 6 Tahun 2013, serta adanya perubahan nomenklatur Kementerian pada Kabinet Kerja yang mengakibatkan terjadinya pergeseran tugas dan fungsi antar kementerian dan lembaga, sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 121/P Tahun 2014 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 165 Tahun 2014, maka Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK. 6982/Menhut-VII/IPSDH/2014 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (Revisi VII). Surat Keputusan ini disertai lampiran Peta dengan skala 1 : 250.000.

Luas areal penundaan pemberian izin baru Revisi VI sebesar 64.125.478 ha menjadi sebesar 64.088.984 ha pada PIPPIB Revisi VII, sehingga berkurang sebesar 36.494 ha.:


Keterangan perubahan luas areal penundaan izin baru pada PIPPIB Revisi VII disebabkan antara lain :


Sumber : http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/9699



Posted by Nukil On 18.18 No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

    Blogger news

    Blogroll

    About